Ahlan Wa Sahlan di Blog Kelompok Kerja Penyuluh (POKJALUH) Kankemenag Kab. Pekalongan

Kamis, 06 Oktober 2011

KETRAMPILAN MEDIA DAKWAH


KETRAMPILAN MEDIA DAKWAH
Drs. H. Zainuri, M.Ag
Workshop Petugas Siaran Bidang Penamas Kanwil Kemenag
Di Hotel Gracia Semarang 5-8 Oktober 2011

Kata Media berasal dari Bahasa latin “Medius” yang berarti Tengah /Perantara / Pengantar yaitu Perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan.
Bahasa Arab :  ألوصيلة
Fungsi Media :
1.       Sebagai pengantar bagi segenap macam pengetahuan,
2.       Media menyelenggarakan kegiatan dalam lingkungan publik, pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara sukarela, umum dan murah
3.       Pada dasarnya hubungan antara penyuluh dengan sasaran penyuluh adalah seimbang dan sama,
4.       Media menjangkau lebih banyak orang daripada institusi lainnya sehingga menjadi penentu keberhasilan sasaran penyuluhan Agama.
Media Dalam Aspek Teknologi :
1.       Media hasil teknologi cetak
2.       Media hasil teknologi audio
3.       Media hasil teknologi visual
4.       Media hasil teknologi Audio Visual
5.       Media hasil teknologi yang berdasarkan komputer
6.       Media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer
Media dalam aspek tempat :
1.       Masjid
2.       Musholla
3.       Rumah
4.       Gedung serbaguna
5.       Lapangan, alun-alun, stadion, dll.
Media dalam aspek pertemuan :
1.       Ormas, Parpol, LSM
2.       Yasinan, Tahlil, Manaqib, Istighotsah, dsb
3.       Arisan, rapat, diskusi
4.       Reuni, Silaturrahim dan temu kangen
5.       Seminar, lokakarya, halaqoh dsb
6.       Pengajian umum
7.       Pengajian Khusus
8.       Dsb.
Media Dalam Tamaddun :
1.       Rebana
2.       Qasidah
3.       Drama Islami
4.       Tilawah
5.       Kaligrafi
6.       Puisisasi
7.       Dsb.
Jenis-jenis Media :
1.       Audio
2.       Visual
DISKUSI : MEMILIH MEDIA DAKWAH YANG EFEKTIF
A.      KEADAAN SEKARANG
B.      KEADAAN YANG DIHARAPKAN
C.      MASALAH YANG DIHADAPI
D.      CARA – CARA MEMILIH MEDIA
E.       ................................................

Selasa, 04 Oktober 2011

Ratih Sang: Rumah Tangga Itu Butuh Komitmen yang Kuat

Jakarta, bimasislam—Ratih Sanggarwati. Siapa yang tak kenal? Dikenal luas sebagai pemain sinetron, presenter dan pembaca puisi, Ratih Sang, begitu ia dipanggil, kembali dipercaya menjadi juri pada event pemilihan Keluarga Sakinah Tingkat Nasional tahun 2011. Ini adalah tahun kedua baginya menjadi penilai pada ajang yang telah berlangsung sejka tahun 1995 ini.
“ Saya bangga menjadi juri pada even ini. Saya kagum dengan para peserta yang hebat-hebat. Mereka bukan sekedar mampu mempertahankan mahligai rumah tangga, namun juga mampu melahirkan keturunan yang berkualitas” ujarnya.
Ratih Sang menuturkan, dalam membina rumah tangga dengan berbagai tantangan, rintangan dan bahkan jatuh bangun, dibutuhkan komitmen kuat antara suami dan istri. Komitmen tersebut berupa visi dan misi berumah tangga sebagaimana diajarkan agama. Semua komitmen tersebut harus dipegang erat, sehingga ketika di tengah perjalanan ditemui cobaan, tidak meruntuhkan mahligai rumah tangga, namun justru harus saling menguatkan.
“ Ketika suami jatuh penghasilannya, maka istri harus memberikan dorongan positif bagi suami untuk terus survive. Begitupun sebaliknya, ketika istri terjatuh dalam karirnya, maka suami harus menjadi sandaran bagi istri dalam berkeluh kesah. Intinya, suami dan istri harus saling memotivasi, melengkapi dan menyayangi”, tegasnya.
Ratih Sang bercerita, selama penjurian banyak ditemukan nilai-nilai dalam berumah tangga yang sebelumnya ia tidak mengetahuinya. Ada peserta yang telah menikah 35 tahun, anaknya bergelar doctor, padahal keduanya hanyalah guru sekolah dasar. Namun keduanya memiliki komitmen kuat untuk membesarkan anaknya itu.
Ada pula pasangan yang telah menikah 30 tahun, petani biasa. Ketiga anaknya sukses menembus pendidikan S3. Dalam mendidik anak-anaknya, mereka mengajak seluruh anggota keluarga melakukan puasa senin dan kamis. Hal ini bertujuan agar anak merasakan kesatuan yang utuh dengan cita-cita keluarga, sehingga mereka memiliki rasa tanggung jawab atas kehidupannya.
“ Pendidikan anak itu jangan diartikan sebagai sebuah kewajiban, namun kita berikan pemahaman bahwa pendidikan itu untuk mereka sendiri. Misalnya, kalau kita melarang anak-anak tidak mengkonsumsi narkotika, itu bukan karena takut, tapi karena narkotika akan menghancurkan diri mereka”, tegasnya.
Disinggung maraknya perceraian akhir-akhir ini, Ratih Sang menuturkan bahwa pada dasarnya setiap pasangan tidak merencanakan perceraian, namun yang tidak mereka recanakan adalah survive.” Tidak ada yang ingin rumah tangganya berakhir dengan perceraian. Namun, terkadang ada pasangan yang tidak merencanakan cara survive ketika masalah datang dalam kehidupan rumah tangga. Akibatnya, ketika ada masalah kecil, goyahlah mahligai rumah tangga.”
Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional 2011 bagi Ratih Sang adalah bagian dari upaya kampanye penguatan peran dan fungsi keluarga sebagai pilar utama pembangunan nasional.” Kalau keluarga Indonesia mampu menhadirkan suasana sakinah, mawaddah dan rahmah, insya Allah pembangunan nasional akan berhasil”, tuturnya.(jaza)

DAKWAH DAN MEDIA ELEKTRONIK

Embrio globalisasi sebenarnya sudah ada sejak abad ke enam di saat  bangsa Quraisy di Makkah menjadi penghubung dua simbol perdagangan dunia yaitu Syam dan Yaman. Dari Syam berkembang jaringan perdagangan ke arah Utara dan Barat seperti Romawi, Perancis, Spanyol, Portugal, Balkan, Persia dan Asia Barat Daya. Dari Yaman perkembang jaringan ke Selatan dan Timur seperti ke Etiopia, Madagaskar, Afrika Selatan, Gujarat (India), Tiongkok, Malaka, Indonesia, dan Brunei. Di abad ke 20 globalisasi mengalami percepatan dengan dikembangnya teknologi  terutama teknologi informasi dan komunikasi, teknologi industri dan teknologi transportasi.

Keunggulan teknologi industri telah mencapai  effisiensi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga mampu mengahsilkan alat-alat informasi, komunikasi dan transportasi sedemikian murahnya dan dalam waktu yang singkat. Tak  mengherankan kalau dunia entertaiment berkembang dengan pesat, memberikan hiburan secara live atau recorded, on-stage maupun broadcasted, cetak atau eleoktronik diginal.Oleh karena itu, tugas kita semakin berat, bukan saja siaran itu dapat membimbing umat Islam dalam pengamalan agama, tetapi juga memberikan motivasi kepada umat dan berupaya menggerakkannya agar meningkatkan partisipasinya secara maksimal dalam mensukseskan program-program pembinaan keagamaan.

Oleh sebab dengan itu, para pelaku dan pemilik program siaran keagamaan harus terlebih dahulu mengetahui strategi dan sasarannya, serta juga harus mengetahui bagaimana melaksanakan prgram  dengan sebaik-baiknya? Tentu saja harus mengetahui pula dengan baik kelompok-kelmpok yang menjadi sasarannya dan menguasai dengan baik materi-materi siaran agama yang disampaikan. Kemudian, pengelola siaran agama, baik dipusat maupun didaerah, seharusnya menguasai medan dengan baik, sehingga dengan demikian mereka dapat menyusun program-program siaran agama yang sesuai dengan kenyataan, problem dan sasaran yang tepat.

Agama adalah bagian kehidupan manusia dan  merupakan hubungan ketundukan yang diambil manusia sebagai makhluk bebas dalam kaitannya dengan Dzat Yang Maha Tinggi. Agama bagi makhluk bukan terletak dalam substansinya sendiri melainkan dalam kondisinya sebagai objek usaha manusia yang merdeka. Sebab, agama adalah posisi keyakinan manusia pada konsep wujud untuk memperoleh petunjuk dalam mengetahui dan mengenal Allah. Maka  agama merupakan  unsur pertama dan utama dalam kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kehidupan bangsa Indonesia yang relijius perlu dibina dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan. Kegiatan masyarakat dalam kehidupan keagamaan sangat besar dan sudah tercermin dalam peran serta umat Islam dalam pembangunan tempat-tempat ibadah, lembaga-lembaga pendidikan,  lembaga-lembaga sosial keagamaan dan lain-lain. Karena agama menduduki tempat tersendiri, untuk itulah penghayatan dan pengamalan agama perlu dibina dan dikembangkan sehingga umat beragama mampu membangun dirinya, membangun bangsa dan negara dan agamanya.

Pembangunan Indonesia bukan hanya pembangunan fisiknya saja, tetapi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, yakni pembangunan lahir dan batin, rohani dan jasmani, material dan spiritual, kebaikan dunia-akhirat sesuai doa yang selalu dipanjatkan kepada Allah, yaitu; “Rabbana atinaa fiddun-ya hasanah wafil akhirati hasanah waqina adzabannar”.

Agama Islam jelas agama yang mempunyai motivasi yang kuat dalam usaha mewujudkan dan membina masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual. Islam tidak memisahkan antara kehidupan beragama dan bernegara, oleh karena itu motivasi agama merupakan alat yang ampuh dalam menggelorakan semangat masyarakat dalam kehidupannya. Agama dapat memberi bentuk kepada arti dan kualitas hidup, sebab kalau tidak demikian, maka kita akan kehilangan tujuan, keindahan dan keberkahan hidup. Tujuan ini harus ditanamkan dan disosialisasikan melalui berbagai cara dan kegiatan seperti melalui media elektronik.

Program siaran keagamaan melalui media televisi dan radio dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat serta dapat menembus ruang tanpa batas ini perlu dikemas dengan baik bagaimana suatu siaran keagamaan atau dakwah yang menjadi panutan dan diterima masyarakat secara lugas dan menyenangkan, memiliki daya tarik dan berhasil guna bagi audiens.

Media elektronika mempunyai peranan yang besar dan luas sekali sebagai alat penyampai informasi maupun sebagai alat komunikasi. Peranannya yang besar dan luas ini menempatkan posisinya begitu penting dan dibutuhkan manusia dalam kehidupannya. Bahkan dalam perkembangannya di Indonesia, media elektronika sudah bukan merupakan kebutuhan sekunder melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. TV dan radio hampir tersebar merata keseluruh nusantara, dipelosok pedesaan dan wilayah terpencil. Melalui kedua media ini maka informasi dalam sekejap sudah merata dan diterima dalam waktu singkat.

Sisi lain dari peran elektronik adalah efektif dan efisien, terutama dalam hal biaya, tenaga dan waktu. Seorang mubaligh cukup berbicara di TV, radio atau website dalam waktu seketika informasi yang disampaikan sudah dapat dipantau oleh sekian puluh juta orang. Begitu pula suatu ide atau gagasan yang hendak disampaikan kepada kelompok masyarakat tertentu bahkan yang jauh dipelosok, tidak diperlukan lagi biaya besar untuk mendatangi kelompok tersebut melainkan cukup disampaikan melalui media baik TV dan radio.

Untuk lebih meningkatkan peranan siaran agama dalam dakwah, umat Islam sekurang kurangnya memiliki tiga kewajiban pokok;
1.      Umat Islam berkewajiban menyelamatkan Islam dan umatnya dari segala ancaman dan tindakan.
2.      Umat Islam berkewajiban meningkatkan kualitas umat Islam baik secara individu maupun kelompok.
3.      Umat Islam berkewajiban melakukan dakwah Islamiyah sesuai ajaran tuntunan agama Islam.

Melaksanakan dakwah melalui media elektronik adalah salah satu tugas suci yang diperintahkan Allah dalam Alqur’an dan hadist, telah diatur garis–garis besar tentang teknik dan  metodenya. Sekurang-kurangnya ada tiga macam pendekatan yang harus dilakukan dalam menyampaikan siaran keagamaan  agar mencapai hasil yang baik, yaitu;
1.      Pendekatan hikmah (filusuf) dan aqliyah (rasional).
2.      Pendekatan Mauu’izah (pengajaran).
3.      Pendekatan Mujadalah (diskusi, bertukar fikiran)

Semua itu, berpulang kepada kita semua, terutama pemerintah dalam hal ini Direktorat Penerangan Agama Islam Ditjen Bimas Islam Departemen Agama yang menangani siaran keagamaan Islam melalui TV dan Radio.

Dakwah Islam: Sebuah Catatan

Indonesia memiliki segalanya. Alam Indonesia menyimpan kekayaan yang luar biasa. SDA Indonesia hingga saat ini masih menyimpan potensi yang dibutuhkan oleh umat manusia. Jelasnya, setiap jengkal tanah di bumi Indonesia memberikan kehidupan. Tak heran jika dahulu para penjajah datang untuk mengeruk kekayaan bumi nusantara. Indonesia juga adalah paru-paru dunia.
Jutaan hektar hutan Indonesia sangat menentukan kelangsungan kehidupan di dunia. Dunia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Indonesia. Jika hutan Indonesia rusak, maka bumi ini akan kehilangan keseimbangannya. Hal ini sangatlah membahayakan kehidupan manusia.
Ketergantungan dunia juga dirasakan dalam bidang kerukunan umat beragama. Indonesia dengan keragaman yang dimilikinya merupakan barometer dunia dalam pengelolaan kehidupan umat beragama. Keberhasilan Indonesia dalam membangun kerukunan umat beragama adalah sebuah prestasi sekaligus sumbangsih bagi perdamaian dunia. Di sinilah peran umat Islam sangat jelas dalam memberikan kontribusi bagi kelangsungan kerukunan umat beragama.
Bukti nyata besarnya peran Indonesia dapat dilihat dari keterlibatan Indonesia dalam penuntasan berbagai konflik di berbagai belahan dunia. Ketika dunia mengalami permasalahan dengan umat Islam, Indonesia tampil di depan sebagai penengah. Misalnya konflik Hizbullah dan Israel, konflik Darfur, hingga pemulihan keamanan di beberapa negara benua Afrika. Dunia melihat bahwa Indonesia memiliki kemampuan dalam mengelola perdamaian. Apalagi pasca keberhasilan penyelesaian konflik Aceh, kini dunia melirik Indonesia untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik di Afghanistan dan Irak serta beberapa tempat lainnya.
K.H. Hasyim Muzadi, dalam sebuah seminar melontarkan pernyataan bahwa ada dua hal yang membanggakan Indonesia sekaligus mengkhawatirkan. Yang membanggakan adalah cara berfikir keagamaan yang mengikuti ahlussunah yang diaplikasikan dalam kehidupan keindonesiaan yang menggabungkan antara ibadah, fikih, dan tasawuf secara bersamaan. Bangsa ini memiliki karakter keberagamaan yang taat, tanpa menghapus nilai kebangsaan. Umat Islam mampu hidup berdampingan dengan berbagai kelompok umat dan budaya lain, tanpa menanggalkan identitas keislamannya sesuai dengan ketentuan wahyu, ini adalah karakter keberagamaan yang dianut oleh umat Islam Indonesia.
Para dai yang datang ke bumi Nusantara telah membangun corak keislaman yang tidak menegasikan lokalitas, juga tanpa menghilangkan idealisme keislaman. Keduanya telah menyatu dalam sebuah paham keagamaan yang soft, sehingga masyarakat Indonesia mampu menjaga keragamannya dalam bingkai keimanan masing-masing. Dunia Internasional mengakui hal ini. Bahkan Indonesia kini diangap sebagai negara yang menjadi rujukan dalam melihat Islam. Ketika negara-negara bependuduk muslim di Timur Tengah sebagai pusat kelahiran Islam, maka Indonesia adalah pengembang atas Islam itu sendiri. Di sinilah Islam bisa tumbuh dengan berbagai situasi sosial, politik, dan ekonomi serta budaya. Dalam ruang yang lebih luas, Islam telah mengisi ruang dalam sistem ketatanegaraan ini.
Namun, di sisi lain berdiri sebuah ironi yang mengangu pandangan atas keislaman yang soft power tersebut. Ada kondisi yang mengkhwatirkan kita semua, dimana terdapat permasalahan yang potensial merusak tatanan sosial yang telah ada saat ini.
Kekhawatiran pertama adalah adanya jarak antara ajaran yang luhur dan perilaku, khususnya dalam muamalah. Misalnya, Indonesia adalah negeri muslim terbesar, tetapi juga terkorup. Sangat menyedihkan karena jelas merusak citra keislaman yang menjunjung tinggi moralitas. Dunia akan melihat bahwa umat Islam Indonesia juga bagian dari kebobrokan tersebut, sebuah pandangan yang tidak semuanya benar namun juga tidak salah juga.
Agama diajarkan dimana-mana, bahkan dari level terendah pendidikan pun sudah diajarkan. Namun pendidikan agama yang diberikan belum mampu membangun karakter bangsa yang jauh dari korupsi. Tidak hanya pendidikan formal, agama yang mengajarkan kemulian akhlak juga diajarkan dalam berbagai ritual agama. Secara jelas al-Qur’an menegaskan bahwa Shalat akan mencegah pelakunya dari berbagai kemungkaran. Namun apa yang terjadi? Ibadah berlalu begitu saja tanpa ada bekas dalam kehidupan moralitas.
Dr. H. Syafii Anthonio, M.Ec memberikan ilustrasi menarik soal ini dalam hal berbisnis. Menurutnya, mana yang lebih baik, miskin bersabar atau kaya bersyukur mana yang lebih baik? yang miskin dan sabar itu hal biasa dan kaya bersyukur juga itu biasa. Tapi kalau kaya sabar maka itu yang luar biasa. Apa yang dimaksud orang kaya sabar? yaitu orang yang kaya sabar dalam kekayaannya. Setelah kaya ia tidak sombong, bisa menahan diri untuk tidak pamer, istiqomah untuk meniti income yang halal, dan meneruskan menjadi pengusaha yang amanah. Ternyata tingkatan ini jauh lebih berat dari orang yang miskin sabar dan orang kaya yang syukur.
Siapa kira-kira contoh yang harus kita ambil kalau kita berbicara tentang pengusaha yang jujur? Pengusaha yang amanah pengusaha yang sukses kemudian pengusaha yang bisa mengembangkan masyarakat. Pengusaha yang peduli kepada masyarakat, ternyata setelah dipikir-pikir tidak ada contoh yang lebih hebat dari Rasulullah SAW. Bahwa kita dengan rasul benci tapi rindu. Kita dengan rasul terkena problem rabun dekat. Apa yang dimaksud dengan rabun dekat? Kita dengan rasul ini begitu dekat, seolah-olah tidak ada jarak lagi apalagi, kita membaca sholawat kepadanya setiap waktu kita, kita membaca maulud Berjanzi dan Diba”. Inilah yang saya sebutkan rasul ini kita “kerangkeng” dan kita “ikat pakai rantai” di masjid-masjid, tidak boleh keluar/tidak pernah kita bawa dalam dimensi-dimensi kehidupan kita. Rasul itu hanya mewarnai hidup kita 50 menit sehari melalui shalat 5 waktu.
Ilustrasi di atas mengambarkan bahwa dalam kehidupan ini telah terjadi diktomi antara moralitas dan spiritual. Agama hanya berlaku dalam ibadah vertikal, sementara wilayah horizontal tak lagi menggunakan agama. Rasulullah saw hanya diteladani sebatas dalam perayaan haris besar Islam, setelah itu dilupakan dan bahkan dibuang.
Kekhawatiran selanjutnya adalah adanya sifat rendah diri menghadapi orang lain. Umat kita lebih bangga dengan produk dari luar, lebih bangga mengambil fikiran asing ketimbang memperdalam pemikiran lokal. Ini akan menghancurkan bangsa, karena yang datang dari luar dianggap lebih tinggi. Menurut Prof. Atho Muzhar, banyak generasi muda yang bangga belajar segala sesuatu yang berbau barat, padahal tidak semua yang berbau barat itu adalah baik. Ia mengakui bahwa Barat telah mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan serta pemikiran. Namun semua itu ada konsteksnya masing-masing, sehingga tidak otomatis bisa diterapkan dalam konteks tata nilai keindonesiaan.
Dalam hal ini, arus globalisasi yang dikomandoi oleh negara-negara maju, telah menjadi isu yang terus menggelinding dan menciptakan berbagai pergeseran tata nilai, baik bersifat positif maupun negatif. Globalisasi ini telah melahirkan struktur sosial yang baru, menggantikan struktur sosial yang selama ini telah ada. Dari aspek sosial-budaya misalnya, saat ini telah terjadi pergeseran hampir di semua sisi kehidupan keluarga. Keluarga adalah tempat tumbuh dan berkembangnya generasi bangsa.
Dari keluarga inilah lahir generasi bangsa yang berkualitas, namun kini keluarga mulai kehilangan sentuhan pendidikannya bagi anak. Hal ini di antaranya disebabkan telah berubahnya norma-norma kehidupan berkeluarga secara drastis. Orang tua yang tidak berdaya menjadi orang tua budaya dan orang tua spiritual terhadap anak-anaknya, melainkan hanya sebatas orang tua biologis. Ini jelas berdampak serius pada hilangnya fungsi keluarga sebagai tempat pembinaan generasi muda. Di sisi lain, generasi muda kita lebih memilih pendidikannya dari luar keluarga. Mereka lebih sering mengambil idola bukan lagi dari sosok orang tua, melainkan dari dunia luar yang liar. Pergeseran itu juga terjadi pada hilangnya nilai-nilai paguyuban, menipisnya budaya malu, pergeseran figur idola publik di kalangan generasi muda kita, perubahan radikal dalam dunia mode & fashion, perubahan selera dan menu serta pola konsumsi masyarakat.
Menurut KH. Tolhah Hasan, globalisasi telah masuk kedalam grassroot. Masyarakat bawah telah merasakan dampak dari globalisasi, tentunya dampak itu ada yang negatif dan positif. Beliau mencontohkan, ketika bertanya alasan bercerai di kampung-kampung, jawabnya: sudah tidak ada kecocokan. Menurutnya jawaban ini suatu proses peniruan dari masyarakat urban. Padahal budaya kampung tidak mengajarkan seperti itu. Namun karena derasnya arus informasi yang bida diterima masyarakat di pedesaan, mereka ikut meniru kebiasaan bercerai masyarakat peerkotaan.
Kesenjangan Paradigmatik
Hal yang bisa kita deteksi dalam persoalan sosial kemasyarakatan saat ini adalah adanya perbedaan cara pandang tentang dakwah dan kebutuhan umat, sehingga antara apa yang disajikan bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan umat. K.H Tolhah Hasan menyebutnya sebagai kesenjangan paradigmatik antara elit dan bawahan.
Persoalan ini sangat luas dampaknya bagi keberlangsungan pembinaan umat. Ulama dan umara adalah pelayan umat. Nabi telah menegaskan bahwa para uama adalah penerus dakwah para nabi. Ulama dalam konteks kekinian bisa diartikan sebagai institusi pelayanan keumatan, baik di pemerintahan maupun masyarakat umum.
Ada perubahan paradigma di sebagian pelaku dakwah kita. Ada segelintir orang yang menjadikan dakwah sebagai lahan usaha dan peningkatan status sosial. Dakwah dimaknai sebagai lahan ekonomis, dengan menanggalkan dimensi spiritual berupa kewajiban berdakwah. Sehingga, perilaku dakwah tidak lagi sistematis dan dalam kerangka program yang jelas, melainkan sporadis dan tidak berbasis kebutuhan umat.
Masalah yang juga serius dalam menciptakan kegalauan pada diri umat adalah munculnya “raja-raja” baru yang haus akan pelayanan, bukan melayani. Ini terjadi akibat tumbuhnya pandangan bahwa dakwah adalah miliki kelompok mulia, sehingga kedudukannya harus dimuliakan. Pandangan ini tidaklah salah, karena memulaikan dai adalah bagian dari ajaran Islam. Namun persoalannya menjadi rumit tatkala pelaku dakwah tidak lagi mengayomi dan melayani, malah dilayani. Bukan dia yang turun menjemput dan memberikan pendampingan kepada umat, tetapi umat yang datang dengan merangkak memberikan hormat. Padahal Nabi sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai manusia yang mulia dan wajib diagungkan. Beliau adalah sosok yang bersahaja, teman dari para fakir miskin dan orang-orang tertindas, serta ayah dari anak-anak yatim.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya unsur-unsur lain seperti politik. Sebagai penjaga umat, para dai adalah pengayom bagi seluruh lapisan. Masyarakat dengan beragam aliran dan paham keagamaannya adalah pihak yang harus dilayani dan diayomi. Akibat kepentingan politik, dakwah pun diarahkan sebagai basis pengumpulan kekuatan, tidak lagi memberdayakan, tetapi dikomersilkan. Lihat saja misalnya, semasa kampanye institusi agama, masjid, mushala, dan sejenisnya, dijadikan ajang unjuk gigi kekuatan politik, mereke berlomba mengais suara. Padahal, setelah pesat itu selesai, semuanya terupakan. Umat yang harusnya diberikan pembinaan berkelanjutan malah diterlantarkan.
Dalam skala yang lebih sempit, kesejangan itu kini terjadi antara khatib dan jamaah. Apa yang disampaikan khatib tidak diinginkan oleh jamaah. Dalam sebuah kesempatan shalat jum’at, seorang khatib mencaci maki seorang tokoh nasional yang dianggapnya telah merusak pemikiran dengan liberalismenya. Tak tanggung-tanggung, umpatan dan cacian itu begitu deras keluar dari bibirnya. Sementara, para jamaah tidak paham dan sebenarnya tidak burtuh dengan umpatan-umpatan tersebut. Yang mereka butuhkan adalah paham keagamaan yang bisa menjadikan mereka sebagai pribadi yang progresif, inovatif; mereka ingin mendapatkan pencerahan. Khutbah-khutbah kita tidak lagi landing bagi umat. Umat perlu pemikiran yang progresif dari para khatib agar permasalahan mereka bisa diberikan solusi.
Lebih mengerikan lagi adalah hilangnya peran masjid dalam pembinaan masyarakat. Masjid tidak lagi berfungsi sebagai tempat pembinaan agama. Bahkan masjid-masjid sekarang ini lebih banyak kosongnya daripada penuhnya. Para pengelola masjid telah membangun paradigma yang salah dalam hal ini, di mana kemegahan masjid menjadi tolak ukur keberagmaan, sementara upaya pemakmurannya melalui beragam aktifitas dakwah terbengkalai.
Data rumah ibadah umat Islam tahun 2009 berdasarkan kategori rumah ibadah umat Islam yang dihimpun dari internal Bimas Islam sebagai berikut Jumlah Masjid Agung 1.059(0.16%) Bangunan, Masjid Raya 40(0.006), Masjid Jamik 107.995(16.79%), Langgar 277.242 (43%), Musholah 255.301(39.68%). Data ini cukup memberikan gambaran betapa besarnya peran yang hilang dari masjid dalam pembinan umat. Jika kita berandai-andai separuh dari jumlah masjid yang ada berfungsi baik sebagai pusat pembinaan umat, rasanya setengah dari permasalahan bangsa ini telah terselesaikan.
Tantangan Umat
Mengutip pendapatnya Prof. Dr. Nasauddin Umar, MA, secara garis besar ada empat bidang yang menjadi PR umat Islam saat ini.
Pertama, kerukunan hidup antar umat beragama. Munculnya benih-benih radikalisme dan ekstrimisme adalah ancaman bagi keberlangsungan kerukunan umat beragama. Ketika keragaman tidak dilihat sebagai keniscayaan, dan ketika perbedaan disikapi dengan hitam putih, maka hal ini akan memunculkan tindak kekerasan. Faktor kerukunan keagamaan juga menjadi bagian dari nilai strategis Indonesia. Sebagai negara dengan pemeluk muslim terbesar, Indonesia adalah jantung perdamaian dunia. Dengan segala keragaman pemikiran keagamaan, tentunya Indonesia akan banyak dilihat kemampuannya dalam mengelola keragaman dimaksud. Dan keberhasilan Indonesia dalam mengelola keberagamaan adalah sebuah sumbangsih bagi dunia sekaligus kiblat bagi dunia dalam mengelola keberagaman keyakinan.
Kedua, pendidikan Islam. Pendidikan adalah faktor penting dalam membangun bangsa. Tanpa pendidikan, mustahil sebuah bangsa akan maju. Begitupula dengan umat Indonesia. Terjangan globalisasi harus diantisipasi oleh umat Islam dengan membangun pola pendidikan Islam yang kompetitif.
Ketiga, kesehatan. Masalah kesehatan juga menjadi agenda kedepan. Derasnya arus perkembangan zaman telah berdampak terhadap ganguan kesehatan di masyarakat, seperti penyebaran penyakit HIV dan AIDS, adalah sebuah ancaman serius yang harus diberikan perhatian oleh umat. Data dari KPAN menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 33 juta hidup dengan HIV, di mana 2,0 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Adapun usia terjangkita HIV dan AIDS 45% berusia 15-24 tahun. Dengan segala potensi yang dimiliki, umat Islam harus membangun kepedulian terhadap masalah kesehatan.
Tata nilai agama yang mengajarkan arti penting kesehatan harus dikembangkan secara maksimal melalui berbagai media yang ada. Agama harus menjadi kekuatan penting dalam membangun kesehatan masyarakat. Keterlibatan umat Islam dalam kampanye kesehatan ini akan berpengaruh besar bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Keempat, kesejahteraan umat. Pranata Islam memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam bidang perekonomian umat. Misalnya zakat, wakaf, infak, dan shadaqoh. Itu semua adalah potensi besar yang bisa dimaksimalkan untuk membangun kesejahteraan umat. Saat ini telah berdiri BAZNAS dan BWI. Kedua lembaga ini bertugas mengembangkan zakat dan wakaf. Ini adalah sebuah kemajuan karena akan memberikan kontribusi besar bagi pengentasan kemsikinan. Tentunya semua itu membutuhkan pengelolaan yang bagus dan manajerial yang mumpuni.
Pertanyannya adalah, mampukah umat Islam Indonesia menjawab semua harapan dunia ?
Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi pusat peradaban Islam di dunia. Keempat bidang yang telah menjadi PR tersebut sangat mungkin diwujudkan. Tentunya upaya mewujudkannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan upaya keras serta strategis yang baik agar semua yang ditugaskan bisa diselesaikan dengan baik.
Kita memiliki potensi yang besar untuk semua itu. Umat Islam memiliki jaringan yang cukup luas hingga ke pelosok desa. Sosok ulama atau tokoh agama adalah ujung tombak yang harus dimaksimalkan perannya. Ulama atau tokoh agama harus mengambil peran-peran di masyarakat tidak hanya dalam persoalan keagamaan, melainkan juga peran-peran dalam kehidupan lainnya, seperti sosial-politik, ekonomi dan budaya.
Para ulama atau tokoh agama adalah tokoh agama yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Dengan demikian, maka proporsi ulama di masyarakat tidak hanya memimpin tugas-tugas keagamaan yang berdimensi vertikal semata (ukhrawi), tapi juga dimensi horisontal (duniawi). Ulama atau tokoh agama juga identik dengan lembaga pesantren. Lembaga pesantren adalah agent of social change. Pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan, baik agama maupun pendidikan lainnya. Namun pesantren juga bisa melakukan berbagai aktivitas dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran, kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat. Dengan kata lain, pesantren bisa melakukan berbagai kegiatan sebagai pengembangan fungsi kelembagaan, dalam rangka memenuhi tuntunan masyarakat pendukung dan tantangan perubahan zaman.
Ormas Islam tak kalah penting peran dan fungsinya dalam pembangunan. Kelahiran ormas Islam menandai peran besar umat Islam dalam pembangunan, tidak sebatas perjuangan mengangkat senjata.Ormas Islam telah berperan besar dalam mengembangkan potensi umat. Berbagai ormas yang muncul saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki bidang pengabdian terhadap umat.
Semua potensi itu akan menjadi kekuatan besar jika umat Islam mampu membangun sinergi. Inilah kucninya. Kekuatan dan potensi yang berserakan perlu kita satukan dalam bingkau Islam. Di sinilah kerelaan untuk memanggalkan latar belakang politik, sosial, dan golongan adalah sebuah pengorbanan besar. Semuanya kita leburkan dalam tujuan Islam: lii’lai kalimatillâh, menegakkan panji-panji Islam.
Semoga!.

Kearifan Lokal Efektif Dukung Kerukunan Antarumat Beragama

MAMUJU--Kearifan lokal, tradisi, pranata lokal termasuk norma dan  adat istiadat sangat efektif mendukung upaya menjaga kerukunan antarumat beragama. ''Kami mengajak semua pihak, khususnya para pemuka agama  baik pusat maupun daerah untuk terus menggali dan melestarikan unsur  kearifan lokal,'' tegas Prof. H. Abdurrahman Mas'ud Ph.D dalam dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antarpemuka Agama Pusat dan Daerah  di Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (26/5).
 
''Kami juga mengajak untuk memupuk saling pengertian dengan lebih  memanfaatkan dan mengefektifkan saluran komunikasi antarpemuka agama  yang sudah ada. Baik dalam bentuk forum atau dalam bentuk lainnya,''  tambah Mas'ud. Ia mencontohkan sejumlah kearifan lokal yang efektif dan sudah tumbuh  dan berkembang di masyarakat setempat. Misalnya di suku Bugis Sulawesi  Selatan, memiliki konsep sipakalebbi dan sipakatau yang berarti saling  menghormati dan mengingatkan. Sementara di Bali ada konsep menyama braya, yaitu rasa persaudaraan dan kesepakatan mengucapkan salam dengan  satu salam saja. Sesuai dengan cara agama orang yang menyampaikan salam  tersebut. Dikatakan Mas'ud, di Sulawesi Barat sendiri memiliki budaya  Passola Suungang, yakni budaya yang menganggap bahwa semua orang adalah saudara [IHM].
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat selengkapnya..

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI Pada Acara Pembukaan
Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Multikultural
Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah
Di Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat
Kamis 26 Mei 2011

Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Salam sejahtera dan bahagia bagi kita semua,

Yang kami hormati,
Bupati Kabupaten mamuju,
Anggota DPR RI Komisi VIII
Anggota DPRD Kabupaten Mamuju
Para pejabat Pemerintah Kabupaten Mamuju,
Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Barat dan jajarannya,
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Mamuju dan Jajarannya,
Para Pemuka Agama Pusat dan Daerah,
Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Mamuju, serta
Segenap Peserta Dialog/Diskusi Pengembangan Wawasan Mul­­t­i­­kultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang ber­bahagia,

Mengawali sambutan ini, pertama-tama, marilah kita se­nantiasa me­man­jatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kua­sa, atas segala curahan nikmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga. Sebab, ha­nya atas karunia-Nya pula, pada hari ini, kita dapat berkumpul dan bertatap muka di tempat ini da­lam suasana yang penuh kesejukan dan keakraban. Dan, dalam suasana yang demikian itu, kita akan mengikuti acara pembukaan ke­giatan Dia­log/Diskusi Pengem­bangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Dae­rah di Kabupaten Mamuju. Sebuah ke­giatan yang kami ang­gap pen­ting dan strate­gis dengan bebe­ra­pa alasan. Pertama, para peserta dialog terdiri atas unsur pemuka agama, baik pusat maupun daerah. Mereka, seba­gai­­mana diketahui, adalah orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat. Kedua, isu utama yang didialogkan ber­kaitan dengan upaya pengembangan wawasan multi­kul­tural. Sebuah tema yang sa­ngat aktual, menarik, dan stra­tegis untuk didia­log­kan, terutama dalam rangka menca­ri formulasi efektif menge­lola ke­majemukan masyarakat Indonesia. Ketiga, kegiatan­nya sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu katalisator bagi akse­le­rasi komuni­kasi antar pemuka agama pusat dan daerah, mata rantai peng­ikat ke­bersama­an di antara mere­ka, dan ruang ter­buka bagi penya­luran aspirasi umat beragama da­lam upaya pening­katan kerukunan umat beragama di Indonesia. Keempat, tempat dialog, yaitu Kabupaten Mamuju. Sebuah tempat yang berpen­duduk heterogen secara etnis dan agama, dalam satu provinsi walaupun agak homogen jika dilihat per kabupaten.

Bapak, ibu, hadirin peserta dialog yang kami hormati,
Forum dialog pengembangan wawasan multikultural seperti yang kita ikuti sa­at ini, telah dilakukan oleh Kemen­te­ri­an Agama mulai tahun 2002 dan sampai 2010 telah mencapai 27 provinsi, tahun 2011 ini yang ke 28 di Provinsi Sulawesi Barat dan ke 29 di Provinsi Aceh. Dari rangkaian dialog yang telah kita lakukan di berbagai dae­rah, ternyata begi­tu banyak hal yang bermanfaat untuk diketa­hui dan dipelajari bersama dalam rangka membangun masya­rakat dan bangsa yang lebih rukun dan damai ke depan. Bah­kan, sebagian menjadi tahapan yang baik bagi penerapan kebi­ja­kan baru pemeliharaan ke­rukunan umat beragama. Sebagai contoh, di Provinsi Sumatera Utara, di samping ber­fungsinya adat dalihan na tolu juga ada Forum Komunikasi Antar Pemu­ka Agama (FKPA) yang menjembatani masalah-masalah bersa­ma lintas agama yang kemudian memuluskan pembentukan FKUB sebagaimana dikehendaki Peraturan Bersama Men­teri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Forum serupa ju­ga terdapat di Provinsi Sumatera Selatan deng­an sebutan Forum Komunikasi Umat Sumatera Selatan (FO­KUSS) sebelum lahirnya FKUB. Di Provinsi Nusa Tengga­ra Timur terdapat program Rukun Mengharum dan Forum Komu­ni­kasi Antar Pemuka Agama (FKPA), sebelum menjadi FKUB. Di Bali ada konsep menyama braya (rasa persaudaraan dan kesepakatan mengucapkan salam dengan satu salam saja sesuai dengan cara agama orang yang menyampaikan salam tersebut, dan tidak perlu ada kesan mengurangi rasa hormat hadirin yang kebetulan menganut agama berbeda. Di Provinsi Jambi dan Riau dijumpai budaya dan adat Melayu yang sarat dengan petuah-petuah bijak yang menjunjung persatuan bangsa.
Di Provinsi Sulawesi Barat ini terdapat banyak istilah-istilah yang dapat meningkatkan integrasi di antaranya yang disebut “Mala’bi” yang bermakna: mulia, bermartabat, sopan, atau semua perilaku/sikap yang berkonotasi baik. “mala’bi” juga bermakna:  saling menghargai, sopan-santun, kebersamaan/gotong-royong, serta saling menghormati, apapun suku, budaya maupun agamanya. Ada juga budaya “Passola Suungang” (Sola suung = saudara), yakni budaya yang menganggap bahwa semua orang adalah saudara. Budaya ini membentuk karakter masyarakat cenderung terbuka bagi siapa saja, suku apa saja dan agama apa saja yang datang di Mamuju dianggap semua mereka adalah saudara.
Hal serupa terdapat di daerah-daerah lain seperti suku Bugis di Provinsi Sula­wesi Selatan memiliki konsep sipaka­leb­bi dan sipakatau yang berarti saling menghor­mati dan mengi­ngatkan, di Provinsi Sulawesi Utara terdapat budaya mapalus atau gotong royong. Demikianlah, dae­rah-daerah lain memiliki keari­f­an lokal yang sejak lama terbukti efektif dalam menjaga ke­harmonisan dan ketenteraman masyarakat. Persoalannya ialah kearifan lokal itu ku­rang dipahami secara luas oleh masyarakat dan tampaknya lebih efektif ditaati ma­syarakat ketika tingkat kehidupan kita masih sangat sederhana, kehidupan pedesaan yang serba harmoni. Tetapi, ketika kehidupan masyarakat kita semakin kompleks, ke­tika urbanisasi meningkat, bahkan ketika ter­paan arus globalisasi dan kemajuan tek­nologi komunikasi begitu kuat, maka sebagian beban pemeliharaan kerukunan umat beragama semakin berat dan sebagian kearifan lokal itu tidak sanggup lagi mendu­kung beban berat tersebut. Mungkin perlu upaya memperkuat kembali kearifan-ke­arifan lokal terse­but dengan beberapa modifikasi, termasuk pengenalan kebija­kan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di­dasarkan hasil kesepakatan para pemuka adat dan pemuka agama itu sendiri seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemelihara­an Kerukunan Umat, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pen­dirian Rumah Ibadat.
PBM tahun 2006, sebagaimana diketahui, merupakan peraturan yang disusun dan diru­mus­kan secara bersama-sama dengan melibatkan wakil dari majelis-majelis agama tingkat pusat, ya­itu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Dengan demiki­an, meski­pun PBM ditandatangani oleh peme­rintah, pada hakikatnya meru­pakan kesepakatan para pimpin­an majelis-majelis agama. Pe­merintah pada saat itu hanya berperan sebagai pihak yang memfasilitasi proses komunikasi antarwakil majelis-majelis agama dan memberikan le­galitas hukum dari perspektif hukum ketatane­garaan. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban moral dan institusional bagi para pim­pinan majelis-majelis agama baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengetahui, mema­hami, mensosialisasikan, mengamankan, dan melaksanakan PBM seca­ra kon­sisten.
Berkenaan dengan proses penyusunan PBM, Pemerin­tah menyadari bahwa pada era reformasi, partisipasi masyara­kat sangatlah penting. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pem­bentukan Peraturan Perundang-Undangan secara khusus meng­a­tur tentang partisi­pasi ma­syarakat. Bab X Pasal 53 UU tersebut berbunyi: Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pem­bahasan Rancang­an Undang-Undang dan rancangan Peratur­an daerah”. Menu­rut ketentuan, kewajiban Pemerintah un­tuk menampung masukan secara lisan dan tertulis dari masyarakat, sesungguhnya hanya terhadap kedua bentuk peraturan per­undang-undangan tersebut. Namun demikian, karena Pemerintah memandang begitu pentingnya materi yang di­muat dalam PBM, maka dalam rangka bersama-sama masyarakat luas, khususnya pim­­pinan majelis-majleis agama untuk membangun keru­kunan na­si­onal sebagaimana dicita-citakan oleh UUD 1945, penyu­su­n­an Peraturan Bersama ini telah melibatkan secara pe­nuh maje­lis-majelis agama bukan hanya dalam memberikan masuk­an tetapi sekaligus menyusun dan menyelesaikan rancangan PBM.
Setelah PBM disahkan ada memang anggota masyara­kat yang memper­ta­nyakan me­ngapa agama diatur oleh Peme­rin­tah, bukankah itu merupakan bagian dari kebebas­an ber­agama. Dalam kaitan ini perlu dijelaskan bahwa yang diatur oleh PBM bukanlah aspek dok­trin agama yang merupakan kewe­nangan masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalulintas para pemeluk agama yang juga warga negara Indonesia ketika me­reka bertemu sesama warga negara Indonesia pemeluk agama lain dalam mengamalkan ajaran agama mereka. Karena itu, PBM sama sekali tidak mengura­ngi kebebasan beragama yang disebut dalam Pasal 29 UUD 1945. Beribadat dan mem­bangun rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Ber­ibadat adalah ekspresi keagama­an seseorang kepa­da Tuhan Yang Maha Esa. Se­dangkan membangun rumah iba­dat ada­lah tindakan yang berhubungan dengan warga negara lainnya karena pemilikan tanah, kede­katan lokasi, dan sebagai­nya. Karena itu maka prinsip yang dianut dalam PBM ialah bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada, kemudian dalam waktu yang sama harus tetap menjaga kerukunan umat beragama dan men­ja­ga keten­teraman serta ketertiban masyarakat. Inilah prinsip sekaligus tujuan dari PBM.
PBM juga menghilangkan keraguan sementara orang yang mengatakan bahwa Peme­rintah Daerah tidak mempunyai kewenangan dan tanggung jawab di bidang ke­hidupan ke­agamaan, sebagaimana dipahami sepintas dari Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pe­merintahan Daerah, dimana agama tidak termasuk yang diotonomi­kan. Substansi PBM secara ter­si­rat menegaskan bahwa yang dimaksud deng­an kewenangan pemerintah pusat di bidang agama adalah pada aspek kebi­jak­an­nya. Se­dangkan pada aspek pelaksanaan pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri tentu saja dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat Indone­sia diseluruh tanah air ter­masuk oleh pemerintahan daerah. Lebih jauh PBM juga mene­gaskan secara tersurat bahwa pe­meliharaan kerukunan umat beragama adalah bagian penting dari pembinaan kerukunan nasional yang menjadi tanggung jawab daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, serta sebagai bagian dari upaya peme­liharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagai­mana tertuang dalam Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut.
Setelah disahkannya PBM ini, telah dilakukan sosi­alisasi kepada semua aparat peme­rintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan pada tahun 2007, sosialisasi PBM telah turut menyumbang sebesar 17,4% dalam pemeliha­ra­an kerukunan umat beragama. Berdasarkan pemantauan, setelah dikeluarkannya PBM, ka­sus-kasus menyangkut pendirian rumah ibadat cenderung menurun.
Untuk mengetahui peranan FKUB dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pada tahun 2009 Pusat Penelitian dan Pengem­bangan Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian ten­tang Peranan FKUB dalam Melaksanakan Tugas-tugasnya yang Ter­cantum dalam Pasal 9 PBM No 9 dan No 8 Tahun 2006 di enam provinsi yaitu: Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Peneli­tian tersebut mengungkapkan bah­wa tugas-tugas FKUB ter­sebut sudah dapat dilaksanakan cukup baik oleh FKUB provinsi mau­pun FKUB kabupaten/ kota, walaupun pelaksana­an­nya belum optimal. Masih terdapat berba­gai kendala dalam pelaksanaannya termasuk masih perlunya dukungan Pemerin­tah Daerah dalam menyediakan Peraturan Gubernur yang mengatur secara rinci tentang FKUB.

Bapak, ibu dan saudara sekalian yang kami hormati,
Akhirnya, pada kesempatan dialog ini, kami mengajak semua pihak, khususnya para pemuka agama baik pusat mau­pun daerah untuk: Pertama, memupuk saling penger­tian deng­an lebih me­manfaatkan dan mengefektifkan saluran komu­ni­kasi an­tarpemuka agama yang su­dah ada, baik dalam bentuk forum (atau wadah) pada masyarakat maupun bentuk lain­nya, baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Dalam kait­an ini, kiranya pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota senantiasa memberikan perhatian bagi kelancaran pelaksanaan tugas FKUB sebagai wadah komunikasi antar­umat beragama; Kedua, menggali dan melestarikan berbagai unsur ke­arifan lokal, tradisi, dan pranata lokal, termasuk norma dan adat istia­dat yang ber­manfaat dan dapat berfungsi efektif dalam men­du­kung kerukunan ma­syarakat lokal, sambil mela­kukan kajian dan pengayaan dengan kearifan-kearifan baru.
Kami mengharapkan agar para peserta dialog dapat mem­berikan sum­bangan pemikiran yang jernih dan tulus, se­hing­ga tujuan diadakannya kegiatan ini dapat ter­ca­pai. Meski­pun kita mungkin belum dapat sepaham dalam semua hal, tapi kita harus tetap bersama-sama mendialogkan masalah-masalah bangsa yang kita hadapi untuk mencapai titik temu bersama. Selamat berdialog.
Wassalamu`alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh