Ahlan Wa Sahlan di Blog Kelompok Kerja Penyuluh (POKJALUH) Kankemenag Kab. Pekalongan

Jumat, 18 Maret 2011

Dasa r- Dasar Ilmu & Metode Dakwah

DASAR-DASAR ILMU DAN METODE DAKWAH
Oleh: Fachrur Rozi 
           
            Sebaik apa pun materi dakwah yang akan disampaikan, manakala tidak dilakukan dengan metode yang tepat, maka dakwah akan mencapai hasil yang kurang maksimal. Pemahaman seorang da’I akan pentingnya metode dakwah yang tepat, menjadikan ia harus memahami seluk beluk, landasan serta kelebihan dan kekurangan serta karakteristik yang ada pada setiap metode. Sebab tidak semua metode, tepat untuk semua materi dan obyek dakwah. Satu metode (ceramah misalnya) tepat untuk suatu waktu, tempat dan materi dakwah tertentu, belum tentu tepat untuk materi dan situasi yang lain. Oleh karena itu tidak ada satu metode pun yang selalu tepat untuk semua tempat, waktu  dan situasi.
            Metode dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para ulama dakwah, sesungguhnya bertumpu pada dan dalam rangka melaksanakan firman Allah swt yang termaktub dalam surat an Nahl 125:
“Dan serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah (bijaksana) dan dengan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih  baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia pun mengetahui siapa saja yang mendapatkan petunjuk”.
            Dari pemahaman ayat di atas, kemudian para ulama merumuskan metode-metode dakwah yang baik (bijak-hikmah), sehingga pesan dakwah dapat diterima dan diamalkan oleh masyarakat. Metode-metode itu antara lain: metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, keteladanan,  home visit, face to face, drama, dan sebagainya.
            Sebelum membahas tentang metode-metode itu, perlu ditekankan bahwa semua metode yang dibangun dan akan dilaksanakan, hendaknya memperhatikan prinsip dan landasan filosofi pada setiap metode, yaitu berdasarkan pada prinsip HIKMAH,  yang melahirkan beberapa kaidah, yaitu:

  1. Qudwah qabla dakwah
Dakwah akan berjalan efektif manakala seorang da’I adalah contoh utama dari setiap yang didakwahkan. Oleh karena itu seorang da’I idealnya adalah orang pertama yang mengamalkan apa yang ia serukan, sehingga ia mampu memberi contoh sebelum mengajak kepada orang lain. Sebagus apapun metode yang kita gunakan, manakala masyarakat tidak mendapatkan contoh riil dari ajaran Islam, akan sangat sulit untuk mendapatkan hasil dakwah yang maksimal. Rasulullah saw adalah contoh da’I ideal, karena beliau adalah orang pertama dari semua ajaran yang beliau sampaikan, sehingga dakwahnya menjadi efektif. Sebagai contoh kecil, kita sebagai orang tua akan sangat susah untuk ditaati anak, manakala kita tidak memberikan contoh atas  semua perintah dan ajakan yang kita berikan, sebab anak tidak menemukan praktik nyata deari orang tuanya. Perintah yang efektif adalah ketika orang tua menyuruh anaknya pergi ke masjid, orang tua memberi contoh dengan berangkat ke masjid.

  1. Ta’lif qabla ta’rif
Seorang da’I idealnya mampu mendekatkan dirinya dengan jamaahnya sebelum menyampaikan banyak keterangan dan penjelasan tentang Islam. Kedekatan yang dimaksud di sini adalah bagaimana seorang da’I  mampu menyatukan hati jamaah dengan dirinya, merasa satu keluarga, senasib dan seiman dan seperjuangan, sehingga apa yang akan disampaikan bisa menyentuh hati dan fikiran jamaah. Seorang da’I yang dekat dan menyatu dengan jamaah, Insya Allah akan mengerti apa kebutuhan sebenarnya dari jamaah itu. Jamaah yang lapar tidak membutuhkan siraman rohani tentang wajibnya zakat. Jamaah yang tidak memiliki rumah (gelandangan misalnya) tidak memerlukan nasehat tentang kewajiban haji, dst. (sayangnya banyak da’I yang tidak memahami hal ini, sehingga prinsip ini justru diterapkan oleh lembaga-lembaga Kristiani, yang mengerti apa kebutuhan jamaah). Seorang da’I harus mampu menundukkan hati diri dan jamahnya dalam satu kesatuan barisan, sehingga mereka merasa saling mengerti,  saling membutuhkan, saling menghargai dan menghormati. Apabila jamaah sudah merasa menjadi bagian dari sang da’I, dan hati jamaah sudah tertundukkan,  maka jamaah akan menghormati   dan menghargai da’inya, sehingga apa pun yang disampaikannya akan didengar dan ditaati. Rasulullah saw menundukkan hati umatnya dengan akhlaq beliau yang mulia, sehingga orang menjadi tertarik kepada Islam salah satunya karena kepribadian beliau. Jangan sampai orang menolak Islam justru karena akhlaq da’I yang tidak simpatik.

  1. Ta’rif qabla taklif
Seorang da’I  hendaknya mampu memberikan penjelasan dan pengarahan kepada umat akan penting, indah dan manfaat sera damainya berIslam. Materi dakwah awal hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada jamaah tentang hakekat manusia di hadapan Allah swt, kebutuhan manusia kepada sang Khaliq, kebutuhan manusia akan tuntunan Rasul, nikmat dan indahnya beribadah kepada Allah, serta bahayanya apabila manusia tidak mengikuti petunjuk dan aturan Allah swt. Dengan demikian akan terbangun dalam jiwa dan fikiran jamaah akan pentingnya berIslam. Dakwah Islam sering mengalami kegagalan salah satu faktornya adalah karena dakwah dimulai dengan perintah dan larangan, kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan, dll, seperti harus shalat, puasa, zakat, tidak boleh ini dan itu, sehingga muncul kesan agama hanya sekedar daftar perintah dan larangan yang memberatkan. Akibatnya agama dianggapnya sebagai beban. Rasulullah saw memulai dakwahnya bukan dengan memerintahkan shalat, puasa, melarang khamr dan babi, tetapi beliau memulainya dengan penanaman aqidah dan iman kepada Allah swt, sehingga ketika perintah shalat, larangan khamr datang, umat menerima dengan senang hati dan penuh keimanan karena mereka yakin akan kemanfaatan perintah dan larangan itu. Hal ini tidak berarti kita tidak boleh mengajak orang lain untuk shalat dsb, tetapi bagaimana kita memulai dakwah dengan memberikan penyadaran tentang Islam sebelum membebani orang dengan aturan-aturan. Jelaskan indahnya puasa, nikmatnya shalat, lezatnya shadaqah, dsb sebelum menjelaskan rukun dan yang membatalkan puasa, shalat, dsb. Sebagai contoh adalah da’I-da’I di Irian Jaya, mereka pada awal-awal dakwahnya tidak mengajari mereka tentang shalat, halal-haram, tetapi “hanya” menyampaikan indahnya berpakaian dan manfaatnya bagi kesehatan, kehormatan, dst.       
           
  1. Tadarruj fit takalif
Meskipun jamaah telah memahami dan menerima beban yang harus diembannya sebagai seorang muslim, tetapi da’I tidak boleh memaksakan kehendaknya agar jamaah mau melaksanakan semua beban itu. Beban harus diberikan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi jamaah. Apabila beban diberikan sekaligus akan tampak berat dan susah untuk dilaksanakan. Ketika sesorang sedang belajar shalat, tentu tidak tepat kita mengatakan shalat tidak sah kalau tidak terpenuhi syarat  dan rukunnya. Apabila baru belajar membaca fatihah, kurang bijak manakala kita katakan shalat tidak sah kalau fatihahnya tidak benar, dst. Kadang-kadang da’I sering menginginkan agar jamaah mau berubah segera sesuai dengan keinginan dan apa yang disampaikannya. Padahal harus disadari, bahwa da’inya menjadi seperti sekarang ini, dahulu juga tidak seperti ini. Ia melalui proses yang panjang. Bayi yang baru lahir tentu baru bisa menangis, dan jangan dipaksa untuk langsung bisa tertawa.

  1. Tabsyir qabla tandzir
Seorang da’I hendaknya lebih sering dan mendahulukan untuk membahagiakan jamaah dengan janji-janji Allah akan balasan   orang-orang yang berbuat kebaikan dan taqwa berupa kenikmatan dan ketenangan hidup  dunia serta kebahagiaan hidup di akhirat dan surga, dan tidak mendahulukan dan  menonjolkan ancaman neraka Meskipun keduanya harus disampaikan tetapi “basyiran” (memberi kabar gembira) harus didahulukan dan diutamakan daripada “nadziran” (mengancam dan menakut nakuti dengan siksa neraka). Memberi santunan kepada fakir miskin (membahagiakan), lebih diutamakan dari pada menakuti mereka dengan ancaman siksa neraka bila mereka tidak shalat.

  1. Tarbiyah wala ta’riyah
Kewajiban da’i adalah membina umat dan jamaah dan bukan menelanjangi (mempermalukan)nya. Oleh karena itu apabila menemukan jamaah berbuat kesalahan dan khilaf , seorang da’I harus menangani dengan penuh kebijaksanaan. Misalnya dengan memarahi dan mencelanya di hadapan jamaah lain, merupakan sikap yang kurang bijak. Sebab nasehat kepada orang lain di hadapan orang lain sesungguhnya bukan nasehat tetapi mempermalukan. Suatu ketika Rasulullah berada di masjid bersama sahabat. Tiba-tiba datang seorang anak muda menyatakan sudah masuk Islam, tetapi minta izin kepada beliau untuk tetap diperbolehkan berzina. Sahabat-sahabat yang ada di sekeliling nabi menjadi berang, tetapi nabi mampu menenangkannya. Lalu semua sahabat dipersilahkan keluar, sehingga tinggal anak muda itu bersama Rasulullah saw. Lalu beliau menasehati dengan lembut, menyentuh hatinya, sehingga anak itu membatalkan keinginannya, tanpa harus dipermalukan di hadapan sahabat-sahabat lainnya. Inilah metode dan akhlaq dakwah nabi.

  1. Taisir wala ta’sir
Permudah dan jangan mempersulit. Sampaikan ajaran Islam dengan mudah, tekankan bahwa ajaran Islam itu mudah dan tidak sulit untuk difahami dan diamalkan. Jangan memaksa orang yang belum fasih membaca al Qur’an untuk fasih seperti orang Arab, biarkan dan bimbing agar mereka tidak merasa dipersulit. Bila tidak bisa berdo’a dalam bahasa arab, biarkan ia berdoa dengan bahasa yang ia kuasai.

  1. Ushul qabla furu’
Materi dakwah sebaiknya dimulai dari persoalan ushul (pokok) ajaran Islam, dan bukan memulai dengan persoalan-persoalan furu’ (cabang). Sebab manakala dakwah dimulai dari persoalan-persoalan cabang, dikhawatirkan banyak menimbulkan perselisihan (khilafiyah), yang apabila seorang da’I tidak hati-hati dan bijak dalam menyampaikannya akan timbul fitnah dan permusuhan di kalangan jamaah, atau melahirkan fanatisme buta. Maka sebaiknya dakwah dimulai dari persoalan aqidah dan bukan dari persoalan fiqh. Lebih bagus menekankan pentingnya dan kebutuhan manusia untuk shalat, dari pada memulai dari tata cara dan bacaan-bacaan shalat. Kalaupun pada akhirnya sampai pada materi tersebut, seorang da’I harus bisa bersikap jujur dan tidak fanatik terhadap salah satu pemahaman yang ada, tetapi sampaikan apa adanya semua atau beberapa pendapat yang ada, biarkan jamaah untuk memilihnya.
Dari uraian  di atas, maka metode dakwah yang akan digunakan oleh seorang da’I, harus dihiasi dan diselimuti oleh prinsip dan kaidah-kaidah tersebut, sehingga dakwah tidak keluar dari relnya.       
Adapun beberapa metode yang biasa dan sering digunakan antara lain:
  1. Metode ceramah
Metode ini merupakan metode dakwah yang paling konvensional akan tetapi akan tetap dan terus dipakai selama masih ada khutbah Jum’at. Metode ini sangat mengandalkan kemampuan da’I dalam menyampaikan pesan-pesan Islam dengan bahasa lesan. Karena sifatnya satu arah, maka ceramah hendaknya dikemas sedemikian rupa sehingga materi dakwah mudah dicerna dan difahami. Oleh karena itu seorang da’I ketika menggunakan metode ceramah, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- fahami kondisi mad’u secara baik, baik dalam hal usia, pendidikan, status      social, desa-kota, kampung-kampus,  dsb
- gunakan bahasa yang relatif sama dengan bahasa pendengar sehingga mudah difahami. Berbicara dengan bahasa yang asing bagi pendengar sama dengan bicara dengan orang tuli.
- Kemas dan sesuaikan materi dengan tingkatan dan kemampuan sera kondisi pendengar. Bicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkat kemampuannya. Materi sama bisa disampaikan dengan cara yang berbeda bila pendengarnya berbeda.
- Terutama pada khutbah Jum’at, hindari pembahasan materi yang melahirkan kontroversi di kalangan jamaah. Hindarkan membahas masalah yang diikhtilafkan dalam khutbah, yang hanya akan melahirkan keresahan di masyarakat. Sampaikan yang hanya mengandung satu kebenaran, sebab tidak ada dialog setelah itu.  
- Kunci kesuksesan pada metode ceramah terletak pada ketrampilan berkomunikasi yang dimiliki da’I, oleh karena itu fahamilah seluk beluk teori retorika.
- Yang terpenting dari semua itu adalah da’I merupakan pelaksana pertama dari apa yang disampaikannya, kecuali terhadap materi tertentu yang ia belum mampu mengamalkannya, seperti  zakat dan haji misalnya.

  1. Metode Tanya jawab.
Metode ini merupakan gabungan dan penyempurnaan dari metode ceramah.  Pada metode ceramah, komunikasi hanya satu arah, sedangkan Tanya jawab melibatkan pendengar secara langsung sehingga terjadi komunikasi dua arah. Oleh karena itu manakala ada yang tidak bisa difahami dan dicerna jamaah, bisa langsung diperoleh jawabannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika kita menggunakan metode Tanya jawab, antara lain:
- Sebaiknya da’I  mengetahui dan memiliki ilmu yang cukup memadai, baik terhadap materi yang sedang dibawakan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan materi itu. Sedapat mungkin pertanyaan dibatasi sesuai dengan tema yang sedang dibahas, tetapi hal ini mungkin agak sulit dilakukan mengingat ja,aah itu sangat beragam.
- semua peserta (jamaah) jangan kita perlakukan sebagai “orang bodoh”, dalam arti setiap tanggapan kita anggap sebagai pertanyaan orang yang belum tahu, sehingga mereka bisa kita perlakukan sebagai mitra untuk mendapatkan jawaban.
- Tidak semua pertanyaan harus dijawab dalam forum, karena mungkin ada pertanyaan yang bersifat kasuistik, indiviual, dsb.
- Apabila ada pertanyaan yang sifatnya khilafiyah, usahakan untuk memberikan jawaban apa adanya, dalam arti sampaikan semua pendapat yang ada, tanpa harus menghakimi salah satu sebagai yang paling benar. Biarkan jamaah yang menilai dan memilihnya, karena jamaah kita sekarang bukan orang yang tidak tahu apa-apa sama sekali.
- Berlakulah jujur, dalam arti jangan merasa tahu segalanya. Katakan “mohon maaf belum bisa menjawab”  manakala memang menemukan pertanyaan yang tidak tahu jawabannya, dan jangan ngawur asal jawab. Kalau perlu lemparkan pertanyaan itu kepada jamaah, barangkali ada yang tahu jawabannya.

  1. Metode home visit dan face to face
Metode home visit secara bebas dapat diartikan sebagi kunjungan da’I kepada mad’unya ke rumah untuk mendekatkan hubungan batin antara da’I dan mad’u, sehingga terjalin persaudaraan antara keduanya. Di samping itu da’I iharapkan akan tahu persis persoalan yang dihadapi daan pa kebutuhan riil yang diinginkan mad’u. Sedangkan metode face to face, merupakan hubungan antar personal yang mirip dengan bimbingan dan konseling. Metode ini sangat tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan individual yang dihadapi mad’u. Di samping terjamin kerahasiaannya, biasanya dakwah seperti ini lebih berhasil dari pada ceramah umum.
Metode ini lebih tepat digunakan untuk menundukkan hati orang, baik kaya maupun miskin. Kepada orang kaya mungkin mereka merasa dihormati, sementara kepada orang miskin meraka merasa dihargai dan “diwongke”. Apalagi kalau kemudian diikuti dengan memberikan santunan kepada mereka. Daripada orang lapar (gepeng misalnya) didakwahi dengan metode ceramah, lebih bagus dikunjungi dan diberikan santunan.
Demikian beberapa  penjelasan tentang metode dakwah yang biasa dan bisa digunakan sebagai bekal untuk berdakwah di masyarakat. Semoga bermanfaat. Amin.


PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH POPULER KEAGAMAAN PENYULUH AGAMA FUNGSIONAL PADA MEDIA CETAK

Pedoman Karya Ilmiah Penyuluh Agama Islam

PEDOMAN PENULISAN KARYA ILMIAH POPULER KEAGAMAAN
PENYULUH AGAMA FUNGSIONAL PADA MEDIA CETAK

Oleh ; Nasrulloh disadur dari tulisan M. Zaenul Asyhuri

Selain bahasa, tulisan juga berfungsi sebagai alat komunikasi dan sarana pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta penyampaian ajaran agama Islam.
Pengertian Karya Ilmiah Populer adalah karya ilmiah yang digemari oleh orang banyak. Hal ini ada kaitannya pula dengan sitim sirkulasi dan marketing sebuah perusahaan media massa. Sehingga yang disebut karya ilmiah popular adalah karya ilmiah yang diekspos pada sebuah media massa cetak seperti Koran, majalah dsb.
Jenis tulisan itu bermacam-macam antara lain : (1) News, (2) Feature, (3) Essay, (4) Laporan atau Reprtase, (5) Artikel Opini. Namun dalam penggunaan istilah ilmiah popular identik dengan tulisan jenis artikel opini.
Sementara artikel opini adalah karangan yang berisi ulasan atau opini terhadap suatu masalah atau dengan kata lain menganalisa suatu persoalan. Karena itu, aspek analisa serta opini (pendapat) penulisnya lebih menonjol.

Kriteria Tulisan
Sesuai dengan fungsinya, yakni untuk membantu pembaca mencerna informasi, menentukan pendapat dan sikap, dan melihat kedepan, maka artikel opini harus : 
1. Didukung dengan fakta yang akurat
Apabila tulisan dimaksud menyebut firman Allah, maka harus desebutkan pula surat apa dan ayat berapa. Jika menyebutkan sabda nabi, maka harus disebutkan Hadits riwayat siapa atau di dalam kitab apa.
Demikian halnya jika menunjukkan data angka tertentu, maka harus disebutkan sumber pengambilan datanya, kecuali data yang telah diketahui oleh umum. Sekalipun demikian, penulis bisa menggunakan kata fleksibel seperti tidak kurang, lebih kurang dan sebagainya. 
2. Tidak emosional
Penulis tidak bisa menunjukkan emosionalitasnya sehingga kelihatan tidak sportif dan tidak proporsional. Bahkan dalam suatu hal yang penulis tidak setuju, cara penulisannya pun harus halus seperti, saya kurang sependapat dengan …………, karena menurut hemat saya …..
3. Tidak terlalu panjang
Untuk ukuran media masa koran, tulisan ilmiah popular antara 1/2 sampai dengan empat halaman sesuai dengan kolom yang tersedia. Tulisan yang panjang bisa juga dan kadang-kadang kalau bagus serta menarik dimuat di Koran, tetapi pemuatannya secara bersambung.
Supaya tulisannya jelas dan padat, maka penggunaan kalimat efektifnya diterapkan semaksimal mungkin. 
4. Tuntas ulasannya
Tidak menggantungkan sebagian ulasan sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru. Atau dengan kata lain ulasannya harus lengkap dan tidak boleh ada yang tertinggal atau disembunyikan.
5. Argumentatif dan rasional
Bahasa yang digunakan dibuat se argumentative agar pembaca yakin bahwa apa yang diutarakan, apa yang dibahas, atau apa yang disanggah dapat meyakinkan penulis bahwa opini atau pendapatnya benar. Serta tidak mengungkap hal-hal yang tidak bisa dinalas oleh pembaca. 
6. Komunikatif
Artinya bahwa tulisan itu hendaknya menimbulkan interest kedua belah puhak, antara penulis dan pembaca. Sehingga dalam penggunaan bahasa diupayakan seolah-olah pembaca diajak turut berpikir dan berbicara.
7. Ada hal yang baru/ actual
Terdapat masukan/ ide atau hal baru dalam tulisan baik itu penemuan, penelitian, angan-angan atau cita-cita yang dituangkan.
Serta sesuai dengan situasi dan kondisi kebutuhan pembaca saat itu (actual)
8. Asli pendapat penulis
Tidak merupakan jiplakan atau kutipan dari orang lain. Kalau toh terpaksa dalam tulisan mencantumkan pendapat atau kutipan orang lain, maka sumber atau orangnya disebutkan.
9. Mendidik
Tulisan yang dimuat harus mendidik moral, akhlak, dan hal-hal keduniaan lainnya demi kemajuan pembaca atau masa depan pembaca. Tidak diperkenankan menulis dengan isi memprovokasi, mengarahkan pembaca untuk berbuat anarkhis dsb.
10. Penggunaan Bahasa 
Tidak mengulang-ulang bahasa yang sama, menghindari pemborosan kata, dan menggunakan pilihan bahasa yang paling halus dan sederhana namun indah dan mudah dipahami pemcaba. Dapat menggunakan istilah asing dengan catatn diberi penjelasan.
11. Dapat dipertanggungjawabkan
Tulisan tidak mengandung delik atau cacat hukum yang bisa membawa penulis berurusan dengan meja hijau.
Serta tidak mengungkap fakta atau contoh yang fiktif/ tidak benar. 

Teknik Penulisan
Pedoman penulisan karya tulis ini sebenarnya juga mengacu pada pedoman penulisan karya tulis ilmiah pada umumnya. Tetapi mengingat keterbatasan kolom yang tersedia, tuntutan bisnis dan tuntutan pembaca, maka teknik penulisannya pada umumnya sebagai berikut :
Diketik dengan huruf pika/ font size 12 dan spasi ganda pada kertas berwarna putih ukuran folio sepanjang 3 sampai 4 halaman. Judul diketik dengan huruf capital pada posisi tengah atas. Judul digaris bawahi dan diwah judul diketik nama lengkap penulis sesuai dengan identitas yang disertakan.
Kemudian pada akhir tulisan disebutkan status dan jabatan penulis sehari-hari.
Komposisi tulisan pendahuluan atau pengantar menuju isi 15 – 20% dari isi tulisan, isi 70 – 80% dari isi tulisan, dan penutup 5 – 10% dari isi tulisan.
Naskah dibuat dalam dua rangkap dan asli naskah dimasukkan dalam amplop ukuran departemen, diketik nama dan alamat pengirim serta redaksi tujuan pengiriman. (Contoh pada tutor/ instruktur).
Maksud dibuatnya naskah dalam dua rangkap, karena dipakai sebagai alat control/ koreksi terhadap tulisan yang telah dimuat di media massa. Karena Dewan redaksi berhak merubah tulisan yang masuk ke meja redaksi sepanjang tidak merubah maksud dan inti dari tulisan. Jangan sampai tulisan yang sudah diekspos ternyata menyimpang atau dipolitisir oleh redaksi demi keuntungan sepihak. 

Teknik Penyusunan
Teknik penyusunan karya tulis ilmiah populer yang paling mudah untuk dipedomani:
1. Buatlah thema / judul tulisan sebelum memulai menulis
Suatu karya mustahil dapat tertulis dengan baik tanpa menentukan thema terlebih dahulu sebelum menyusun tulisan walaupun thema tersebut tidak ditulis.
Tetapi bagi penulis professional, thema tulisan sifatnya tidak paten. Artinya, terkadang ditengah menulis, kemudian menemukan hal baru dan hal itu yang menurutnya lebih penting dan menarik untuk dikupas.
Penentuan judul dilakukan setelah tulisan selesai disusun agar tergambar jelas kesesuaian antara judul dengan isinya. Dan kalimat judul yang paling baik adalah tidak lebih dari 3 kata. 
2. Buatlah kerangka (out line) naskah
3. Pengumpulan bahan
4. Pengolahan bahan
5. Penyusunan
Buatlah tulisan awal sebagus dan semenarik mungkin agar pembaca tertarik dan kemudian membacanya dengan cermat, tenang dan senang. Tetapu untuk membuat tulisan awal menarik tidaklah mudah. 
Seorang penulis kadang-kadang untuk mengawali sebuah tulisan memerlukan waktu berjam-jam bahkan sampai berhari-hari. Tetapi begitu tulisan awal atau fondasi tulisan telah selesai, maka isi tulisan dan mengkahirinya sangat mudah.
Untuk mengawali sebuah tulisan, dapat dilakukan dengan mengungkapkan suatu peristiwa, kasus, anekdot, ayat/ hadits dan kisah teladan serta hal-hal menarik lainnya. 
Mengingat menulis itu merupakan proses kreatifitas, maka tidak banyak orang yang menulis dengan baik. Tetapi seseorang bisa belajar dan berlatih terus agar bisa menulis dengan baik. Sehingga sebagai penyuluh, kita tidak hanya pandai ceramah melainkan juga mahir menuangkan ceramah itu dalam bentuk tulisan.
Untuk mengakhiri tulisan ini, perlu disampaikan bahwa dalam mengirim sebuah karya tulis ilmiah popular ke media massa, foto copy identitas penulis (diutamakan sesuai dengan profesinya) disertakan, dan makalah ini merupakan contoh kecil dari bentuk tulisan yang akan dikirim ke media massa cetak.***

Rabu, 16 Maret 2011

Rabi’ah Al-Adawiyah
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA
Rektor Institut PTIQ Jakarta
Abstract
Rabi’ah was a women who got a hight level up in sufism.
Rabi’ah al-Adawiyah was a pioner and teacher of sufies. Her
taqwa and zuhud could take her up in extraordinary position
wich never be reached by any women in the world. Her mystical
ideas,”mahabbah”, propagated and was investigated until now.
Even her fame extended to Europe. The west bachelor amazed to
her history and personality.
Keywords: tasawuf, Islam, Mahabbah
Pendahuluan
“ Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala
apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mengharapkan surga.
Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk
mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya
hanya untuk kasih sayang-Nya saja. Ya Allah, jika aku menyembahMu karena takut kepada neraka maka bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah
aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi engkau semata,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi kepadaku.”
Ratusan tahun  lalu Rabi’ah Al-Adawiyah mengungkapkan
kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep 718 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
mahabbah. Bagi Rabi’ah, semua lakon ibadah yang ia lakukan
merupakan kasih sayang Tuhan semata kepadanya. Kasih
sayang itu kata Rabi’ah, merupakan mutiara yang paling
berharga bagi manusia, jika manusia mengetahui rahasia di
baliknya.
Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri, guna lebih
mendekatkan diri pada Ilahi. Berbagai tingkatan (maqam)
dialui, untuk mencapai tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah Ilahi.
Dengan berbagai macam pensucian diri, maka bertambahlah
cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri, serta
kesadarannya yang tinggi akan kasih sayang Ilahi yang selalu
dirasakannya tiada pernah berhenti.
Pengalaman religius yang tertinggi berupa ma’rifah Ilahi,
tidak hanya dimiliki oleh sufi dari kalngan pria saja, kaum
perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam
mewujudkan penghambaannya pada Ilahi juga akan sampai
pada maqam ma’rifah. Kenyataan bahwa seorang perempuan
muslim dapat dipuja seperti wali, tidak diragukan lagi, karena
sejarah tasawuf tidak akan lengkap, kalau tidak menyebutkan
perbuatan, perkataan dan syair-syair Rabi’ah. Dalam dataran
sufi Rabi’ah dipandang sebagai pembawa versi baru dalam
hidup kerohanian, karena ia tampil ke depan dan memperkaya
kehidupan tasawuf dengan memperkenalkan warna baru,
yaitu cinta Ilahi. 
Rabi’ah al-Adwiyah seorang perempuan yang mencapai
derajat luhur dalam sejarah sufi. Ia memperoleh penghargaan
tinggi, namanya tertulis dengan tinta emas dalam lembaran
sejarah. Prestasi taqwa dan zuhud yang ia miliki telah
mengangkatnya pada kedudukan yang luar biasa, yang tidak
pernah dicapai oleh perempuan mana pun. Kedudukan
tinggi diperolehnya dengan usaha keras dan keikhlasan hati
dalam beramal. Bukan karena faktor keturunan, bukan pula
karena tempaan pendidikan perguruan tinggi. Jiwa ikhlas
dan semangat keras yang ia miliki, bermuara dari perasaan 719
cinta yang luar biasa kepada al-Khalik. Cinta inilah yang telah
merubah wawasan,  pola pikir dan perilaku dalam hidup
kesehariannya. Cinta ini pulalah yang memotivasi dirinya
dalam beramal.        
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang pelopor dan
sekaligus sebagai guru bagi sejumlah sufi. Ide tasawuf yang
dikembangkannya, “mahabbah”, telah menyebar ke manamana dan banyak dikaji hingga saat ini. Kemasyhurannya tidak
hanya di kawasan dunia Islam, namun sampai menjangkau
dunia Eropa. Para sarjana Barat sangat kagum akan sejarah
hidup wanita shaleh ini, terlebih lagi ia adalah seorang yang
tidak pernah menginjakan kaki di sebuah perguruan tinggi,
namun renungannya kaya akan ilmu yang mendalam, sehingga
para sarjana itu sangat menaruh minat untik meneliti buah
pikiranya. Rabi’ah-lah tokoh  pertama dalam sejarah tasawuf
yang diperkenalkan dalam karangan-karangan orang Eropa.
Legendanya dibawa oleh Joinvile, duta Luis IX pada abad 13.
Menurut Annemarie Schimmel, Rabi’ah dipergunakan dalam
sebuah risalah abad ke-17 di Perancis tentang cinta murni.
Rabi’ah Al-Adawiyah720 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Ia adalah model cinta Ilahi, kisah tentangnya telah berulang
kali diceritakan kembali di Barat, gemanya yang terakhir
terdengar dalam sebuah cerita pendek di Jerman nasa kini,
(Max Mell, “die Schonen Hande”).
1
 Sementara penulis dari
kawasan Timur (Islam) yang banyak menulis tentang Rabi’ah
antara lain: Fariduddin al-Attar, Muhammad Atiyah Khamis,
dan Abdul muin.
Hingga saat ini kehidupan dan ajaran Rabi’ah tetap menarik
untuk dikaji dan diteliti, karena di dalamnya sarat akan hikmah
dan tauladan. Apalagi bila dikaitkan dengan masa sekarang,
kondisi di mana kehidupan manusia lebih mengarah pada
kehidupan meterialistik dan cendrung mengabaikan moral.
Ekses dari kehidupan demikian tidak hanya akan merugikan
diri sendiri, yaitu berupa jiwa tidak tenang, resah dan gelisah,
akan tetapi juga akan membawa dampak negatif pada orang
lain.
Dengan demikian, kajian tentang kehidupan Rabi’ah AlAdawiyah masih relevan untuk dibahas. Proses yang dijalani
Rabi’ah dalam rangka menggapai ma’rifah Ilahi, dapat
dijadikan sebagai pelajaran sekaligus cermin bagi kehidupan
saat ini dan kehidupan di masa datang.
Riwayat Hidup
Rabi’ah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail
al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Nama ini merupaka nama
julukan (kunyah). Dalam literatur lain disebutkan bahwa
nama lengkapnya adalah Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah alQisysyiyah. Menurut Qondil, bahwa ia diberi nama Rabi’ah
karena merupakan anak keempat dari keluarga Ismail. Nama
tersebut sangat sederhana. Hal ini terkait erat  dengan keinginan
Ismail dan isterinya untuk mendapatkan anak laki-laki yang
nantinya dapat dijadikan tumpahan harapan keluarga, apalagi
dikaitkan dengan masa tersebut, anak laki-laki merupakan
nilai tersendiri karena dapat membantu oranmg tua.
2
 Lahir di 721
Basrah pada tahun 95 H (717 M). Menurut pendapat Khalikan,
keluarga Rabiah berasal dari suku Atiq, ayahnya bernama
Ismail.
3
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga biasa, bahkan dapat dikatakan dalam keluarga yang
sangat miskin, namun dalan kondisi keluarga yang taat dan
sholeh, yang penuh dengan kezuhudan. Rabi’ah tumbuh
dewasa dengan wajar, ia kelihatan lebih cerdik dan cerdas
dibanding teman-temannya. Keistimewaan dan kekuatan
daya ingat Rabi’ah telah dibuktikan sejak ia kanak-kanak. AlQur’an dihapal sejak ia berusia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah
dalam menghapal al-Qur’an ini dapat dimaklumi, karena ia
suka menghapal. Bila telah berhasil menghapal, ia duduk dan
mengulangi kembali hapalannya dengan khusuk.
4
 
Kedua orang tua Rabi’ah meninggal dunia saat Rabi’ah masih
kecil,
5
 demikian pula dengan ketiga kakaknya meninggal ketika
wabah kelaparan melanda kota Bashrah. Dalam kesendirian
itu, Rabi’ah akhirnya jatuh ke tangan orng yang kejam, yang
lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak
seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.
Setelah bebas, Rabi’ah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk
menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya ia sampai
di sebuah gua dekat Bashrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah
tikar buntut, sebuah kendi dari tanah, dan sebuah batu bata,
adalah harta yang dia punyai dan menjadi teman dalam
menjalani hidup kepertapaannya.
6
  
Rabi’ ah wafat pada tahun 185 H, pendapat ini adalah
pendapat mayoritas dari para ulama.
7
  Menurut riwayat
Rabi’ah selau menolak lamaran pria soleh dan mengatakan:“
Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.
Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah
berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam
Tuhan dan diriku sepenuhnya miliki-Nya. Aku hidup dalam
naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya,
Rabi’ah Al-Adawiyah722 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
bukan dariku.”
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah tidak
pernah sekolah secara formal, namun Rabi’ah dididik langsung
oleh orang tuanya. Ayah Rabia’ah menghendaki anaknya
terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang
bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa
menyekat kesempurnaan batiniahnya. Maka Rabi’ah dibawa
ayahnya ke sebuah mushallah di pinggiran kota Basrah. Di
tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan
munajat, berdialog dengan sang khalik. Di tempat yang tenang
dan tentram tersebut, akan mudah mencapai kekhusukan
dalam beribadah dan bisa mengkosentrasikan pikiran pada
keagungan dan kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat
dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang diperolah
Rabi’ah semasa kecil.
8
Mazhab Tasawuf Irfani Rabi’ah
Tasawuf Irfani adalah penyingkapan hakekat kebenaran atau
ma’rifah kepada Allah, tidak melalui logika atau pembelajaran
atau pemikiran tetapi melalui hati yang bersih (suci) yang
dengannya seseorang dapat berdialog secara batini dengan
Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan
Allah kedalam hatinya, hakekat kebenaran pun tersingkap
lewat ilham.
i
 Dengan alasan itulah Rabi’ah digolongkan
dalam mazhab ini, karena Rabi’ah dalam mencapai maqam
ma’rifah tidak melalui fase atau jenjang pendidikan dengan
kemampuan akal pikiran (IQ), akan tetapi ia mencapai maqam
ma’rifah dengan kecerdasan spiritual (SQ) yang dimilikinya
melalui ketajaman intuisi. Ilahiah dengan bait-bait do’a yang
dilafazkan dan syair-syairnya yang dilantunkan.     
Ajaran-Ajaran Rabi’ah
Ajarannya tentang  berendah diri (tawaddu’), Rabi’ah
berkata bahwa “Amal-amal yang timbul dari diriku tidak 723
berarti bagiku”. Al-Jahizh dalam al-Bayan wa al-Tabyin
meriwayatkan, bahwa suatu ketika ditanyakan pada Rabi’ah :
“Apakah suatu amal yang kau lakukan  kau pandang diterima?”
Jawabnya : “ Seandainya amal itu ada artinya justru aku takut
itu dikembalikan padaku.”
9
Mengenai  riya’ Rabi’ah mengatakan:“ Sembunyikan
kebaikan-kebaikanmu, sebagaimana kau sembunyikan
keburukan-keburukanmu.” Dia tidak senang bila seseorang
menunjukkan kebaikan-kebaikannya.
10
 Hal ini senada dengan
isyarat yang dituangkan Rasulullah SAW dalam haditsnya,
yang maksudnya adalah, bila tangan kanan memberi sesuatu
pada seseorang, hendaklah tangan kiri tidak mengetahuinya.
Sedangkan mengenai taubat Rabi’ah berpendapat, “Taubat
seseorang yang melakukan maksiat adalah berdasarkan
kehendak Allah. Dengan kata lain, tergantung pada karunia
Ilahi dan bukan karena hendak manusia itu sendiri. Jelasnya,
kalau Allah berkehendak maka Ia akan membukakan pintu
taubat bagi seseorang yang berbuat maksiat.
Diriwayatkan suatu ketika seseorang berkata pada Rabi’ah:
“ Aku ini banyak berbuat maksiat, adakah Allah akan
membukakan pintu taubat kalau aku bertaubat?” Rabi’ah
menjawab: “ Tidak! Sebaliknya, kalau Allah berkenan membuka
pintu taubat bagimu maka kamu akan bertaubat.”  Konsep
taubat Rabi’ah ini bisa dirujukan pada sumber al-Qur’an yaitu
firman Allah: “ Lalu Allah menerima taubat mereka, agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat
lagi Maha Penyanyang.” (QS. al-Taubah: 119)
11
       
 Adapun pendapat Rabi’ah tentang rida’, yang diriwayatkan
al-Kaladadzi dalam karyanya  al-Ta’arruf li Mazhab alTashawwuf, bahwa suatu ketika Sufyan al-Tsauri berkata
di hadapan Rabi’ah: “ Ya, Tuhanku, ridhailah diriku ini!”
Maka kata Rabi’ah: “ Tidakkah kau malu meminta keridhaan
kapada Dzat yang kau tidak ridha kepada-Nya?” Ungkapan
ini mengandung isyarat bahwa hendaklah ridha berlangsung
Rabi’ah Al-Adawiyah724 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
timbal-balik antara seoranmg hamba dengan Tuhannya, sesuai
firman Allah “ Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya” (QS. al-Mâ’idah/5: 119)
12
Keistimewaan Rabi’ah
Rabi’ah Al-Adawiyah dipandang sebagai seorang sufi yang
meletakkan dasar konsep zuhud berdasarkan cinta (al-hubb).
Konsep yang dibawa oleh Rabi’ah ini, membuat dia berbeda
dengan para sufi lainnya. Salah satu pernyataan Rabi’ah yang
menunjukkan kecintaan dan rindunya kepada Allah dan syair
cintanya yang paling masyhur adalah :  
“ Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku
dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah senantiasa
mengingat-Mu, Cinta karena diri-Mu, adalah keadaanku
mengungkap tabir sehingga Engkau kulihat, Baik ini
maupun itu, pujian bukanlah bagiku, Bagi-Mu pujian untuk
kesemuanya.”
13
“ Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada nerakaNya dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) surga, (karena
hal itu) akan menjadikan saya sebagai pencari imbalan yang
berakhlak buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya
karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
14
Tentang konsep “Mahabbah” sebagaimana Rabi’ah
tuangkan dalam bait-bait syair, do’a dan pernyataanya,
menurut Harun Nasution bahwa pengertian yang diberikan
kepada al-Mahabbah antar lain sebagai berikut : (1) Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya. (2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi. (3) Mengosongkan diri dari segala-galanya kecuali
dari yang dikasihi. Jika ketiga pengertian dihubungkan
dengan Rabi’ah, maka riwayat yang menerangkan tentang
dirinya dan ucapannya yang telah dikemukakan sebelumnya,
menunjukkan bahwa dia adalah pelopor sekaligus pengamal
ketiga pengertian Mahabbah tersebut. (1) Ia di kenal sebagai 725
hamba yang sangat taat kepada Allah. (2) Menyerahkan seluruh
diri kepada yang dikasihi dimana ia tidak mau berbagi kasih,
misalnya dengan sebuah pernikahan. (3) Dirinya kosong dari
segala-galanya kecuali Allah, di mana ia tidak menyisakan
sedikit ruang pun untuk mencintai selain Allah, bahkan untuk
Nabi Muhammad saw, dan tidak menyisakan hati untuk
membenci bahkan untuk iblis sekali pun.
15
Pernyataan bahwa Rabi’ah mengabdi kepada Allah bukan
karena takut neraka dan bukan pula karena karea ia harap
akan surga, menunjukkan bahwa mahabbbah yang dipelopori
dan diamalkannya adalah mahabbah (cinta) hakiki, yang tidak
mengharapkan harapan-harapan duniawi bahkan ukhrawi.
Tentang tingkatan mahabbah Rabi’ah, dapat dilihat dari
ungkapannya sebagai berikut :
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan
karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan sentiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku menungkapkan tabir, sehingga Engkau
kulihat
Baik ini maupu itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Di sini terlihat bahwa tidak ada lagi tabir yang membatasi
cintanya dengan Tuhan. Keadaan jiwanya tidak lagi melihat
dirinya tetapi yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat ini
sebenarnya hampir sama dengan ma’rifah. Hanya saja jika
ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kapada
Tuhan malalui hati, maka mahabbah adalah perasaan
kedekatan dengan Tuhan melalui cinta.
Bagi Rabi’ah mematuhi Allah karena cinta kepada-Nya,
merupakan peringkat  rohani tertinggi dalam tasawuf,
pendapat ini tercermin dalam ungkapannya:
Dalam batin kepada-Nya kau durhaka, tapi,
Rabi’ah Al-Adawiyah726 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Dalam lahir kau nyatakan cinta suci
Sungguh, aneh sangat gejala ini
Andaikan cintamu memang tulus dan sejati
Yang Dia perintahkan tentu kau taati
Sebab, pecinta pada Yang Di-cinta patuh dan bakti
16
Bukti ketulusan dan kebesaran cinta Rabi’ah pada Tuhannya
dapat dilihat dalam salah satu munajat (audiensi) dia berdo’a :
“ Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut
neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya
aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kapadaMu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku janganlah Kau
halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
17
  
Tampak jelas cinta Rabi’ah kepada Allah begitu penuh
meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan
diri karena hadir bersama Allah. Hal ini seperti diisyaratkan
kata-katanya:
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku
Konsep mahabbah Rabi’ah inilah yang menjadi rujukan
pemakaian kata cinta dalam kalangan para sufi, di mana
sebelumnya jalan kearah perbincangangan tentang cinta
belum tersiapkan. Rabi’ah Al-Adawiyah-lah yang pertamatama menganalisa pengertian cinta dan menguraikannya,
antara yang berdasarkan rasa ikhlas maupun tulus dengan
cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Penutup
Kehidupan para sufi yang jauh dari kenikmatan duniawi
dan bersenang-senang dengan kenikmatan ukhrawi yang 727
dicapai melalui maqam-maqam tertentu, dapat dikatakan
sebagai usaha yang mempersenjatai diri (manusia) dari
nilai-nilai ruhani baru, yang akan menegakkannya saat
menghadapi kehidupan materialistik. Di samping itu, juga
untuk merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga timbul
kemampuan ketika menghadapi berbagai kesulitan ataupun
masalah hidup lainnya.
Dalam kehidupan para sufi terdapat prinsip-prinsip positif
yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan
masyarakat, yang antara lain, hendaklah manusia selalu
intropeksi diri (muhasabah) untuk meluruskan kesalahankesalahan serta menyempurnakan keutamaan. Bahkan dalam
kehidupan sufi terdorong wawasan hidup menjadi moderat
dan membuat manusia tidak lagi terlena dan terjerat hawa
nafsu atau lupa diri pada Tuhan yang akan membuat dirinya
terjerumus dalam penderitaan yang berat.
Dari dimensi kehidupan sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, dapat
diambil pelajaran bahwasanya kehidupan di dunia hanyalah
media untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada sang Pencinta
dengan ketulusan cinta yang hakiki, tanpa mengharapakan
apa pun dari Sang Pencinta diakhirat kelak apalagi ganjaran
di dunia yang fana ini.
Aku cinta Kau dua model
Cinta rindu, dan cinta karena Kau layak dicinta
Adapu cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu bukan
selain-Mu
Adapu cinta karena Kau layak dicinta,
karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata baguku
Bagiku, tentang ini-itu, tidak ada puji
Namun bagi-Mu Sendiri sekalian puji      
Rabi’ah Al-Adawiyah728 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Daftar Pustaka
Al-Ghanimi al-Tafzani Abu al-Wafa’, Dr, Sufi dari Zaman ke Zaman,
terj. Akhmad Rofi’ Utsmani, judul asli,  “ Madkhal ila alTasawwuf  al-Islam,” Bandung: Pustaka, cet. III, 2003
Jamil, H.M, Drs, Ma,  Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan
Kontestualitas), Jakarta: Gaung Persada Press, cet. I, 2004
Mun’in Qandil, Abdul, Figur Wanita Sufi ( Perjalanan hidup Rabi’ah
Al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah), terj, Mohd. Royhan
Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah, judul asli, “ Rabi’ah
Al-Adawiyah Adzra’u al-Basrah al-Batul,” Surabaya, Pustaka
Progresif, Cet. III, 2000 
Mutahahhari, Murtdha, Mengenal Tasawuf (Pengantar Menuju Dunia
Irfan), terj.  Mukhsin Ali, judul asli, “ Introduction to Irfan,”
Jakarta: Pustaka Azra, Cet. II, 2002
Sucipto, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakr hingga Nasr dan
Qardhawi), Jakarta: Hikmah, Cet. I, 2003
Sururin, M.Ag,  Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi (Evolusi Jiwa
Manusia Menuju Mahabbah dan Ma’rifah), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. II, 2002
(Endnotes)
1
Annemarie Schimmel,  Mystical Dimention of Islam, alih
bahasa: Sapardi Djoko Damono dkk, Dimensi-Dimensi
Sufistik, (bandung: Mizan, 1986), h. 6 
2
Sururi,  Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi  (Evolusi Jiwa
Manusia Menuju Mahabbah dan Ma’rifah), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, h. 20.
3
Mengenai tahun kelahiran Rabiah terdapat perbedaan
pendapat yaitu: 717M, 721M dan 714M. Dari ketiga pendapat
tersebut, tahun yang disebut terakhir banyak diperpegangi
ahli sejarah. Lihat Louis Masignon, et.al, Tasawuf fi alIslam, h.69 
4
Sururin, ibid, h.24.
5
Sururin, Ibid, h. 27.  729
6
Hery Sucipto,  Ensiklopedi Tokoh Islam, Jakarta: Hikmah,
2003/1424, h. 133  
7
Sururin, ibid, h. 44
8
Ibid, h. 25-26
9
H.M. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan
Kontekstualitas), Jakarta: Gaung Persada Press, 2004, h. 92.
10
Abdul al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke
Zaman, Bandung: Pustaka, Cet.III, 2003, h.84 
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Drs. Jamil, Cakrawala Tasawuf….., h. 93
15
Ibid
16
Ibid, h.94
17
Al-Tafzani, h. 86
Rabi’ah Al-Adawiyah730 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010731

Selasa, 15 Maret 2011

Pluralitas VS Pluralisme

Bismillah,
Salah satu ghazwul fikri yg dilancarkan oleh para musuh Islam, terutama kaum ‘Islam’ Liberal adalah pengaburan makna pluralitas dan pluralisme. Mereka selalu meneriakkan bahwa Islam adalah agama yg tidak punya tenggang rasa, merasa paling benar, eksklusif, dan pernyataan2 lain yg memojokkan Islam.
Di artikel ini, insya ALLOH saya akan mencoba menjelaskan kerancuan yg ditanamkan oleh para musuh Islam. Harapan saya, kita semua bisa tahu apa perbedaan mendasar pluralitas dan pluralisme, serta bisa menjelaskan dan menangkal ’serangan’ para musuh Islam tersebut.
Pluralitas dan pluralisme mempunyai akar kata yg sama, yakni plural. Jika merujuk pada wiki, plural mempunyai arti beraneka ragam. Akhiran kata plural akan menentukan perbedaan yg cukup mendasar.
Islam (dan Rasululloh SAW) MEMBOLEHKAN PLURALITAS. Dalam artian, dalam satu masyarakat tidak hanya 1 jenis (homogen), tapi bisa heterogen. Misalnya kota2 besar seperti Jakarta yg dihuni oleh berbagai suku bangsa Indonesia. Ada Sunda, Betawi, Jawa, dst. Di negara2 lain malah kita bisa dapati manusia dari berbagai negara, suku, ras, agama.
Jika kita merujuk pada kehidupan di jaman Rasululloh SAW, kita akan dapati bahwa di kota Mekkah dan Madinah, tidak hanya ada kaum muslim. Ada juga kaum Yahudi dan Nasrani. Bahkan sahabat Nabi, Salman Al Farisyi, berasal dari Iran. Dengan demikian sudah terbentuk yg namanya pluralitas. Dan tidak ada masalah bukan?
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat(49):13)
Perbedaan yg mendasar akan terlihat saat kita mengetahui makna pluralisme. Pluralisme dinyatakan sebagai ungkapan bahwa SEMUA AGAMA ITU BENAR.
Pernyataan inilah yg TIDAK BISA DITOLERIR oleh kaum muslim. Sudah cukup banyak ayat yg menyatakan bahwa ISLAM-LAH AGAMA YG PALING BENAR DI SISI ALLOH SWT.
- “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (Al Baqarah(2):132)
- “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Al Imran(3):19)
- “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Al Imran(3):85)
- “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; danjanganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Al Imran(3):102)
- “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah(5):3)
- “Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” (Al Anfal(8):8)
“Wah, jika demikian memang terbukti bahwa Islam agama yg tidak toleran dong?!”
Pernyataan di atas kemudian dilontarkan oleh para musuh Islam, seakan-akan dari ayat2 di atas itu, mereka mendapatkan pembenaran bahwa Islam adalah agama yg eksklusif.
Lantas, apa jawaban kita?
Perlu diperhatikan, bahwa ada garis tegas yg perlu diketahui mengenai toleransi. Untuk hal2 yg bersifat SOSIAL, maka Islam MEMBOLEHKAN bahkan MENGANJURKAN agar umatnya mengenal dan mempelajari serta bekerja sama.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat(49):13)
Dalam banyak riwayat, kita bisa dapatkan cerita Rasululloh SAW yg menolong dan menjenguk tetangganya (yg memusuhinya secara keras) pada saat dia sakit. Lalu kita tidak pernah dengar kaum muslim dilarang untuk berjual beli dengan kaum non muslim.
Akan tetapi, untuk AQIDAH atau KETUHANAN, Islam MENJADI EKSKLUSIF! Tidak ada toleransi untuk beragama! Mungkin ayat berikut akan menegaskan bahwa Islam MELARANG TOLERANSI DALAM HAL KETUHANAN!
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, - aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. - Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. - Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. - Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. - Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku“. (Al Kaafiruun(109))
Perhatikan ayat terakhirnya, bahwa untuk urusan agama, kita sudah diatur untuk TIDAK TOLERANSI.
Hal yg patut dicatat, tidak toleransi di sini BUKAN berarti umat lain harus dibasmi! Umat Islam justru TIDAK BOLEH MENGGANGGU (bahkan mestinya MELINDUNGI) umat lain yg berbeda keyakinan. Bahkan Islam MELARANG umatnya untuk MEMAKSA umat agama lain utk masuk Islam!
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah(2):256)
Sayangnya, hal terakhir ini yg jarang kita jumpai di Indonesia. Sebagai kaum mayoritas, seringkali kita merasa ‘diperbolehkan’ untuk menindak dan berlaku sewenang-wenang kepada umat lain. Bahkan kita bisa jumpai aksi-aksi organisasi masyarakat ‘Islam’ yg justru aksinya mencoreng Islam.
Salah satu artikel yg ‘mencoreng’ Islam bisa anda baca di sini.
Yang membuat saya bingung, jika memang kaum ‘Islam’ liberal itu menganggap semua agama sama (dan benar), mengapa mereka tidak pindah saja ke agama Kristen atau Yahudi atau Budha misalnya? Toh kan menurut mereka semua agama itu sama dan benar? Coba tanyakan hal ini kepada mereka. Saya yakin mereka tidak akan bisa menjawabnya.