Ahlan Wa Sahlan di Blog Kelompok Kerja Penyuluh (POKJALUH) Kankemenag Kab. Pekalongan

Rabu, 16 Maret 2011

Rabi’ah Al-Adawiyah
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA
Rektor Institut PTIQ Jakarta
Abstract
Rabi’ah was a women who got a hight level up in sufism.
Rabi’ah al-Adawiyah was a pioner and teacher of sufies. Her
taqwa and zuhud could take her up in extraordinary position
wich never be reached by any women in the world. Her mystical
ideas,”mahabbah”, propagated and was investigated until now.
Even her fame extended to Europe. The west bachelor amazed to
her history and personality.
Keywords: tasawuf, Islam, Mahabbah
Pendahuluan
“ Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala
apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mengharapkan surga.
Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk
mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya
hanya untuk kasih sayang-Nya saja. Ya Allah, jika aku menyembahMu karena takut kepada neraka maka bakarlah aku di dalamnya.
Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah
aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi engkau semata,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi kepadaku.”
Ratusan tahun  lalu Rabi’ah Al-Adawiyah mengungkapkan
kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep 718 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
mahabbah. Bagi Rabi’ah, semua lakon ibadah yang ia lakukan
merupakan kasih sayang Tuhan semata kepadanya. Kasih
sayang itu kata Rabi’ah, merupakan mutiara yang paling
berharga bagi manusia, jika manusia mengetahui rahasia di
baliknya.
Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri, guna lebih
mendekatkan diri pada Ilahi. Berbagai tingkatan (maqam)
dialui, untuk mencapai tingkatan tertinggi yaitu ma’rifah Ilahi.
Dengan berbagai macam pensucian diri, maka bertambahlah
cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri, serta
kesadarannya yang tinggi akan kasih sayang Ilahi yang selalu
dirasakannya tiada pernah berhenti.
Pengalaman religius yang tertinggi berupa ma’rifah Ilahi,
tidak hanya dimiliki oleh sufi dari kalngan pria saja, kaum
perempuan pun asal mempunyai hasrat yang tinggi dalam
mewujudkan penghambaannya pada Ilahi juga akan sampai
pada maqam ma’rifah. Kenyataan bahwa seorang perempuan
muslim dapat dipuja seperti wali, tidak diragukan lagi, karena
sejarah tasawuf tidak akan lengkap, kalau tidak menyebutkan
perbuatan, perkataan dan syair-syair Rabi’ah. Dalam dataran
sufi Rabi’ah dipandang sebagai pembawa versi baru dalam
hidup kerohanian, karena ia tampil ke depan dan memperkaya
kehidupan tasawuf dengan memperkenalkan warna baru,
yaitu cinta Ilahi. 
Rabi’ah al-Adwiyah seorang perempuan yang mencapai
derajat luhur dalam sejarah sufi. Ia memperoleh penghargaan
tinggi, namanya tertulis dengan tinta emas dalam lembaran
sejarah. Prestasi taqwa dan zuhud yang ia miliki telah
mengangkatnya pada kedudukan yang luar biasa, yang tidak
pernah dicapai oleh perempuan mana pun. Kedudukan
tinggi diperolehnya dengan usaha keras dan keikhlasan hati
dalam beramal. Bukan karena faktor keturunan, bukan pula
karena tempaan pendidikan perguruan tinggi. Jiwa ikhlas
dan semangat keras yang ia miliki, bermuara dari perasaan 719
cinta yang luar biasa kepada al-Khalik. Cinta inilah yang telah
merubah wawasan,  pola pikir dan perilaku dalam hidup
kesehariannya. Cinta ini pulalah yang memotivasi dirinya
dalam beramal.        
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang pelopor dan
sekaligus sebagai guru bagi sejumlah sufi. Ide tasawuf yang
dikembangkannya, “mahabbah”, telah menyebar ke manamana dan banyak dikaji hingga saat ini. Kemasyhurannya tidak
hanya di kawasan dunia Islam, namun sampai menjangkau
dunia Eropa. Para sarjana Barat sangat kagum akan sejarah
hidup wanita shaleh ini, terlebih lagi ia adalah seorang yang
tidak pernah menginjakan kaki di sebuah perguruan tinggi,
namun renungannya kaya akan ilmu yang mendalam, sehingga
para sarjana itu sangat menaruh minat untik meneliti buah
pikiranya. Rabi’ah-lah tokoh  pertama dalam sejarah tasawuf
yang diperkenalkan dalam karangan-karangan orang Eropa.
Legendanya dibawa oleh Joinvile, duta Luis IX pada abad 13.
Menurut Annemarie Schimmel, Rabi’ah dipergunakan dalam
sebuah risalah abad ke-17 di Perancis tentang cinta murni.
Rabi’ah Al-Adawiyah720 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Ia adalah model cinta Ilahi, kisah tentangnya telah berulang
kali diceritakan kembali di Barat, gemanya yang terakhir
terdengar dalam sebuah cerita pendek di Jerman nasa kini,
(Max Mell, “die Schonen Hande”).
1
 Sementara penulis dari
kawasan Timur (Islam) yang banyak menulis tentang Rabi’ah
antara lain: Fariduddin al-Attar, Muhammad Atiyah Khamis,
dan Abdul muin.
Hingga saat ini kehidupan dan ajaran Rabi’ah tetap menarik
untuk dikaji dan diteliti, karena di dalamnya sarat akan hikmah
dan tauladan. Apalagi bila dikaitkan dengan masa sekarang,
kondisi di mana kehidupan manusia lebih mengarah pada
kehidupan meterialistik dan cendrung mengabaikan moral.
Ekses dari kehidupan demikian tidak hanya akan merugikan
diri sendiri, yaitu berupa jiwa tidak tenang, resah dan gelisah,
akan tetapi juga akan membawa dampak negatif pada orang
lain.
Dengan demikian, kajian tentang kehidupan Rabi’ah AlAdawiyah masih relevan untuk dibahas. Proses yang dijalani
Rabi’ah dalam rangka menggapai ma’rifah Ilahi, dapat
dijadikan sebagai pelajaran sekaligus cermin bagi kehidupan
saat ini dan kehidupan di masa datang.
Riwayat Hidup
Rabi’ah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail
al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Nama ini merupaka nama
julukan (kunyah). Dalam literatur lain disebutkan bahwa
nama lengkapnya adalah Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah alQisysyiyah. Menurut Qondil, bahwa ia diberi nama Rabi’ah
karena merupakan anak keempat dari keluarga Ismail. Nama
tersebut sangat sederhana. Hal ini terkait erat  dengan keinginan
Ismail dan isterinya untuk mendapatkan anak laki-laki yang
nantinya dapat dijadikan tumpahan harapan keluarga, apalagi
dikaitkan dengan masa tersebut, anak laki-laki merupakan
nilai tersendiri karena dapat membantu oranmg tua.
2
 Lahir di 721
Basrah pada tahun 95 H (717 M). Menurut pendapat Khalikan,
keluarga Rabiah berasal dari suku Atiq, ayahnya bernama
Ismail.
3
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga biasa, bahkan dapat dikatakan dalam keluarga yang
sangat miskin, namun dalan kondisi keluarga yang taat dan
sholeh, yang penuh dengan kezuhudan. Rabi’ah tumbuh
dewasa dengan wajar, ia kelihatan lebih cerdik dan cerdas
dibanding teman-temannya. Keistimewaan dan kekuatan
daya ingat Rabi’ah telah dibuktikan sejak ia kanak-kanak. AlQur’an dihapal sejak ia berusia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah
dalam menghapal al-Qur’an ini dapat dimaklumi, karena ia
suka menghapal. Bila telah berhasil menghapal, ia duduk dan
mengulangi kembali hapalannya dengan khusuk.
4
 
Kedua orang tua Rabi’ah meninggal dunia saat Rabi’ah masih
kecil,
5
 demikian pula dengan ketiga kakaknya meninggal ketika
wabah kelaparan melanda kota Bashrah. Dalam kesendirian
itu, Rabi’ah akhirnya jatuh ke tangan orng yang kejam, yang
lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga tak
seberapa. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya.
Setelah bebas, Rabi’ah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk
menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya ia sampai
di sebuah gua dekat Bashrah. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah
tikar buntut, sebuah kendi dari tanah, dan sebuah batu bata,
adalah harta yang dia punyai dan menjadi teman dalam
menjalani hidup kepertapaannya.
6
  
Rabi’ ah wafat pada tahun 185 H, pendapat ini adalah
pendapat mayoritas dari para ulama.
7
  Menurut riwayat
Rabi’ah selau menolak lamaran pria soleh dan mengatakan:“
Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa.
Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah
berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam
Tuhan dan diriku sepenuhnya miliki-Nya. Aku hidup dalam
naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya,
Rabi’ah Al-Adawiyah722 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
bukan dariku.”
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Rabi’ah tidak
pernah sekolah secara formal, namun Rabi’ah dididik langsung
oleh orang tuanya. Ayah Rabia’ah menghendaki anaknya
terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang
bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa
menyekat kesempurnaan batiniahnya. Maka Rabi’ah dibawa
ayahnya ke sebuah mushallah di pinggiran kota Basrah. Di
tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan
munajat, berdialog dengan sang khalik. Di tempat yang tenang
dan tentram tersebut, akan mudah mencapai kekhusukan
dalam beribadah dan bisa mengkosentrasikan pikiran pada
keagungan dan kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat
dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang diperolah
Rabi’ah semasa kecil.
8
Mazhab Tasawuf Irfani Rabi’ah
Tasawuf Irfani adalah penyingkapan hakekat kebenaran atau
ma’rifah kepada Allah, tidak melalui logika atau pembelajaran
atau pemikiran tetapi melalui hati yang bersih (suci) yang
dengannya seseorang dapat berdialog secara batini dengan
Tuhan sehingga pengetahuan atau ma’rifah dimasukkan
Allah kedalam hatinya, hakekat kebenaran pun tersingkap
lewat ilham.
i
 Dengan alasan itulah Rabi’ah digolongkan
dalam mazhab ini, karena Rabi’ah dalam mencapai maqam
ma’rifah tidak melalui fase atau jenjang pendidikan dengan
kemampuan akal pikiran (IQ), akan tetapi ia mencapai maqam
ma’rifah dengan kecerdasan spiritual (SQ) yang dimilikinya
melalui ketajaman intuisi. Ilahiah dengan bait-bait do’a yang
dilafazkan dan syair-syairnya yang dilantunkan.     
Ajaran-Ajaran Rabi’ah
Ajarannya tentang  berendah diri (tawaddu’), Rabi’ah
berkata bahwa “Amal-amal yang timbul dari diriku tidak 723
berarti bagiku”. Al-Jahizh dalam al-Bayan wa al-Tabyin
meriwayatkan, bahwa suatu ketika ditanyakan pada Rabi’ah :
“Apakah suatu amal yang kau lakukan  kau pandang diterima?”
Jawabnya : “ Seandainya amal itu ada artinya justru aku takut
itu dikembalikan padaku.”
9
Mengenai  riya’ Rabi’ah mengatakan:“ Sembunyikan
kebaikan-kebaikanmu, sebagaimana kau sembunyikan
keburukan-keburukanmu.” Dia tidak senang bila seseorang
menunjukkan kebaikan-kebaikannya.
10
 Hal ini senada dengan
isyarat yang dituangkan Rasulullah SAW dalam haditsnya,
yang maksudnya adalah, bila tangan kanan memberi sesuatu
pada seseorang, hendaklah tangan kiri tidak mengetahuinya.
Sedangkan mengenai taubat Rabi’ah berpendapat, “Taubat
seseorang yang melakukan maksiat adalah berdasarkan
kehendak Allah. Dengan kata lain, tergantung pada karunia
Ilahi dan bukan karena hendak manusia itu sendiri. Jelasnya,
kalau Allah berkehendak maka Ia akan membukakan pintu
taubat bagi seseorang yang berbuat maksiat.
Diriwayatkan suatu ketika seseorang berkata pada Rabi’ah:
“ Aku ini banyak berbuat maksiat, adakah Allah akan
membukakan pintu taubat kalau aku bertaubat?” Rabi’ah
menjawab: “ Tidak! Sebaliknya, kalau Allah berkenan membuka
pintu taubat bagimu maka kamu akan bertaubat.”  Konsep
taubat Rabi’ah ini bisa dirujukan pada sumber al-Qur’an yaitu
firman Allah: “ Lalu Allah menerima taubat mereka, agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat
lagi Maha Penyanyang.” (QS. al-Taubah: 119)
11
       
 Adapun pendapat Rabi’ah tentang rida’, yang diriwayatkan
al-Kaladadzi dalam karyanya  al-Ta’arruf li Mazhab alTashawwuf, bahwa suatu ketika Sufyan al-Tsauri berkata
di hadapan Rabi’ah: “ Ya, Tuhanku, ridhailah diriku ini!”
Maka kata Rabi’ah: “ Tidakkah kau malu meminta keridhaan
kapada Dzat yang kau tidak ridha kepada-Nya?” Ungkapan
ini mengandung isyarat bahwa hendaklah ridha berlangsung
Rabi’ah Al-Adawiyah724 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
timbal-balik antara seoranmg hamba dengan Tuhannya, sesuai
firman Allah “ Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha terhadap-Nya” (QS. al-Mâ’idah/5: 119)
12
Keistimewaan Rabi’ah
Rabi’ah Al-Adawiyah dipandang sebagai seorang sufi yang
meletakkan dasar konsep zuhud berdasarkan cinta (al-hubb).
Konsep yang dibawa oleh Rabi’ah ini, membuat dia berbeda
dengan para sufi lainnya. Salah satu pernyataan Rabi’ah yang
menunjukkan kecintaan dan rindunya kepada Allah dan syair
cintanya yang paling masyhur adalah :  
“ Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku
dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah senantiasa
mengingat-Mu, Cinta karena diri-Mu, adalah keadaanku
mengungkap tabir sehingga Engkau kulihat, Baik ini
maupun itu, pujian bukanlah bagiku, Bagi-Mu pujian untuk
kesemuanya.”
13
“ Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada nerakaNya dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) surga, (karena
hal itu) akan menjadikan saya sebagai pencari imbalan yang
berakhlak buruk. (Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya
karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
14
Tentang konsep “Mahabbah” sebagaimana Rabi’ah
tuangkan dalam bait-bait syair, do’a dan pernyataanya,
menurut Harun Nasution bahwa pengertian yang diberikan
kepada al-Mahabbah antar lain sebagai berikut : (1) Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya. (2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi. (3) Mengosongkan diri dari segala-galanya kecuali
dari yang dikasihi. Jika ketiga pengertian dihubungkan
dengan Rabi’ah, maka riwayat yang menerangkan tentang
dirinya dan ucapannya yang telah dikemukakan sebelumnya,
menunjukkan bahwa dia adalah pelopor sekaligus pengamal
ketiga pengertian Mahabbah tersebut. (1) Ia di kenal sebagai 725
hamba yang sangat taat kepada Allah. (2) Menyerahkan seluruh
diri kepada yang dikasihi dimana ia tidak mau berbagi kasih,
misalnya dengan sebuah pernikahan. (3) Dirinya kosong dari
segala-galanya kecuali Allah, di mana ia tidak menyisakan
sedikit ruang pun untuk mencintai selain Allah, bahkan untuk
Nabi Muhammad saw, dan tidak menyisakan hati untuk
membenci bahkan untuk iblis sekali pun.
15
Pernyataan bahwa Rabi’ah mengabdi kepada Allah bukan
karena takut neraka dan bukan pula karena karea ia harap
akan surga, menunjukkan bahwa mahabbbah yang dipelopori
dan diamalkannya adalah mahabbah (cinta) hakiki, yang tidak
mengharapkan harapan-harapan duniawi bahkan ukhrawi.
Tentang tingkatan mahabbah Rabi’ah, dapat dilihat dari
ungkapannya sebagai berikut :
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan
karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan sentiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku menungkapkan tabir, sehingga Engkau
kulihat
Baik ini maupu itu, pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Di sini terlihat bahwa tidak ada lagi tabir yang membatasi
cintanya dengan Tuhan. Keadaan jiwanya tidak lagi melihat
dirinya tetapi yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat ini
sebenarnya hampir sama dengan ma’rifah. Hanya saja jika
ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kapada
Tuhan malalui hati, maka mahabbah adalah perasaan
kedekatan dengan Tuhan melalui cinta.
Bagi Rabi’ah mematuhi Allah karena cinta kepada-Nya,
merupakan peringkat  rohani tertinggi dalam tasawuf,
pendapat ini tercermin dalam ungkapannya:
Dalam batin kepada-Nya kau durhaka, tapi,
Rabi’ah Al-Adawiyah726 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Dalam lahir kau nyatakan cinta suci
Sungguh, aneh sangat gejala ini
Andaikan cintamu memang tulus dan sejati
Yang Dia perintahkan tentu kau taati
Sebab, pecinta pada Yang Di-cinta patuh dan bakti
16
Bukti ketulusan dan kebesaran cinta Rabi’ah pada Tuhannya
dapat dilihat dalam salah satu munajat (audiensi) dia berdo’a :
“ Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut
neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya
aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kapadaMu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku janganlah Kau
halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
17
  
Tampak jelas cinta Rabi’ah kepada Allah begitu penuh
meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan
diri karena hadir bersama Allah. Hal ini seperti diisyaratkan
kata-katanya:
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku
Konsep mahabbah Rabi’ah inilah yang menjadi rujukan
pemakaian kata cinta dalam kalangan para sufi, di mana
sebelumnya jalan kearah perbincangangan tentang cinta
belum tersiapkan. Rabi’ah Al-Adawiyah-lah yang pertamatama menganalisa pengertian cinta dan menguraikannya,
antara yang berdasarkan rasa ikhlas maupun tulus dengan
cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Penutup
Kehidupan para sufi yang jauh dari kenikmatan duniawi
dan bersenang-senang dengan kenikmatan ukhrawi yang 727
dicapai melalui maqam-maqam tertentu, dapat dikatakan
sebagai usaha yang mempersenjatai diri (manusia) dari
nilai-nilai ruhani baru, yang akan menegakkannya saat
menghadapi kehidupan materialistik. Di samping itu, juga
untuk merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga timbul
kemampuan ketika menghadapi berbagai kesulitan ataupun
masalah hidup lainnya.
Dalam kehidupan para sufi terdapat prinsip-prinsip positif
yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan
masyarakat, yang antara lain, hendaklah manusia selalu
intropeksi diri (muhasabah) untuk meluruskan kesalahankesalahan serta menyempurnakan keutamaan. Bahkan dalam
kehidupan sufi terdorong wawasan hidup menjadi moderat
dan membuat manusia tidak lagi terlena dan terjerat hawa
nafsu atau lupa diri pada Tuhan yang akan membuat dirinya
terjerumus dalam penderitaan yang berat.
Dari dimensi kehidupan sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, dapat
diambil pelajaran bahwasanya kehidupan di dunia hanyalah
media untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada sang Pencinta
dengan ketulusan cinta yang hakiki, tanpa mengharapakan
apa pun dari Sang Pencinta diakhirat kelak apalagi ganjaran
di dunia yang fana ini.
Aku cinta Kau dua model
Cinta rindu, dan cinta karena Kau layak dicinta
Adapu cinta rindu, karena hanya Kau kukenang selalu bukan
selain-Mu
Adapu cinta karena Kau layak dicinta,
karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata baguku
Bagiku, tentang ini-itu, tidak ada puji
Namun bagi-Mu Sendiri sekalian puji      
Rabi’ah Al-Adawiyah728 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010
Daftar Pustaka
Al-Ghanimi al-Tafzani Abu al-Wafa’, Dr, Sufi dari Zaman ke Zaman,
terj. Akhmad Rofi’ Utsmani, judul asli,  “ Madkhal ila alTasawwuf  al-Islam,” Bandung: Pustaka, cet. III, 2003
Jamil, H.M, Drs, Ma,  Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan
Kontestualitas), Jakarta: Gaung Persada Press, cet. I, 2004
Mun’in Qandil, Abdul, Figur Wanita Sufi ( Perjalanan hidup Rabi’ah
Al-Adawiyah dan Cintanya kepada Allah), terj, Mohd. Royhan
Hasbullah dan Mohd. Sofyan Amrullah, judul asli, “ Rabi’ah
Al-Adawiyah Adzra’u al-Basrah al-Batul,” Surabaya, Pustaka
Progresif, Cet. III, 2000 
Mutahahhari, Murtdha, Mengenal Tasawuf (Pengantar Menuju Dunia
Irfan), terj.  Mukhsin Ali, judul asli, “ Introduction to Irfan,”
Jakarta: Pustaka Azra, Cet. II, 2002
Sucipto, Hery, Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakr hingga Nasr dan
Qardhawi), Jakarta: Hikmah, Cet. I, 2003
Sururin, M.Ag,  Rabi’ah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi (Evolusi Jiwa
Manusia Menuju Mahabbah dan Ma’rifah), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Cet. II, 2002
(Endnotes)
1
Annemarie Schimmel,  Mystical Dimention of Islam, alih
bahasa: Sapardi Djoko Damono dkk, Dimensi-Dimensi
Sufistik, (bandung: Mizan, 1986), h. 6 
2
Sururi,  Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Illahi  (Evolusi Jiwa
Manusia Menuju Mahabbah dan Ma’rifah), Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, h. 20.
3
Mengenai tahun kelahiran Rabiah terdapat perbedaan
pendapat yaitu: 717M, 721M dan 714M. Dari ketiga pendapat
tersebut, tahun yang disebut terakhir banyak diperpegangi
ahli sejarah. Lihat Louis Masignon, et.al, Tasawuf fi alIslam, h.69 
4
Sururin, ibid, h.24.
5
Sururin, Ibid, h. 27.  729
6
Hery Sucipto,  Ensiklopedi Tokoh Islam, Jakarta: Hikmah,
2003/1424, h. 133  
7
Sururin, ibid, h. 44
8
Ibid, h. 25-26
9
H.M. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf (Sejarah, Pemikiran dan
Kontekstualitas), Jakarta: Gaung Persada Press, 2004, h. 92.
10
Abdul al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke
Zaman, Bandung: Pustaka, Cet.III, 2003, h.84 
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Drs. Jamil, Cakrawala Tasawuf….., h. 93
15
Ibid
16
Ibid, h.94
17
Al-Tafzani, h. 86
Rabi’ah Al-Adawiyah730 Jurnal Bimas Islam Vol.3 No.4 2010731

Tidak ada komentar: