Indonesia memiliki segalanya. Alam  Indonesia menyimpan kekayaan yang luar biasa. SDA Indonesia hingga saat  ini  masih menyimpan potensi yang dibutuhkan oleh umat manusia.  Jelasnya, setiap jengkal tanah di bumi Indonesia memberikan kehidupan.  Tak heran jika dahulu para penjajah datang untuk mengeruk kekayaan bumi  nusantara. Indonesia juga adalah paru-paru dunia.
Jutaan hektar hutan Indonesia sangat  menentukan kelangsungan kehidupan di dunia. Dunia memiliki  ketergantungan yang tinggi terhadap Indonesia. Jika hutan Indonesia  rusak, maka bumi ini akan kehilangan keseimbangannya. Hal ini sangatlah  membahayakan kehidupan manusia.
Ketergantungan dunia juga dirasakan  dalam bidang kerukunan umat beragama. Indonesia dengan keragaman yang  dimilikinya merupakan barometer dunia dalam pengelolaan kehidupan umat  beragama. Keberhasilan Indonesia dalam membangun kerukunan umat beragama  adalah sebuah prestasi sekaligus sumbangsih bagi perdamaian dunia. Di  sinilah peran umat Islam sangat jelas dalam memberikan kontribusi bagi  kelangsungan kerukunan umat beragama.
Bukti nyata besarnya peran Indonesia  dapat dilihat dari keterlibatan Indonesia dalam penuntasan berbagai  konflik di berbagai belahan dunia. Ketika dunia mengalami permasalahan  dengan umat Islam, Indonesia tampil di depan sebagai penengah. Misalnya  konflik Hizbullah dan Israel, konflik Darfur, hingga pemulihan keamanan  di beberapa negara benua Afrika. Dunia melihat bahwa Indonesia memiliki  kemampuan dalam mengelola perdamaian. Apalagi pasca keberhasilan  penyelesaian konflik Aceh, kini dunia melirik Indonesia untuk berperan  aktif dalam penyelesaian konflik di Afghanistan dan Irak serta beberapa  tempat lainnya.
K.H. Hasyim Muzadi, dalam sebuah  seminar melontarkan pernyataan bahwa ada dua hal yang membanggakan  Indonesia sekaligus mengkhawatirkan. Yang membanggakan  adalah cara  berfikir keagamaan yang mengikuti ahlussunah yang diaplikasikan dalam  kehidupan keindonesiaan yang menggabungkan antara ibadah, fikih, dan  tasawuf secara bersamaan. Bangsa ini memiliki karakter keberagamaan yang  taat, tanpa menghapus nilai kebangsaan. Umat Islam mampu hidup  berdampingan dengan berbagai kelompok umat dan budaya lain, tanpa  menanggalkan identitas keislamannya sesuai dengan ketentuan wahyu, ini  adalah karakter keberagamaan yang dianut oleh umat Islam Indonesia.
Para dai yang datang ke bumi Nusantara  telah membangun corak keislaman yang tidak menegasikan lokalitas, juga  tanpa menghilangkan idealisme keislaman. Keduanya telah menyatu dalam  sebuah paham keagamaan yang soft, sehingga masyarakat Indonesia mampu  menjaga keragamannya dalam bingkai keimanan masing-masing. Dunia  Internasional mengakui hal ini. Bahkan Indonesia kini diangap sebagai  negara yang menjadi rujukan dalam melihat Islam. Ketika negara-negara  bependuduk muslim di Timur Tengah sebagai pusat kelahiran Islam, maka  Indonesia adalah pengembang atas Islam itu sendiri. Di sinilah Islam  bisa tumbuh dengan berbagai situasi sosial, politik, dan ekonomi serta  budaya. Dalam ruang yang lebih luas, Islam telah mengisi ruang dalam  sistem ketatanegaraan ini.
Namun, di sisi lain berdiri sebuah  ironi yang mengangu pandangan atas keislaman yang soft power  tersebut.  Ada kondisi yang mengkhwatirkan kita semua, dimana terdapat permasalahan  yang potensial merusak tatanan sosial yang telah ada saat ini.
Kekhawatiran pertama adalah adanya  jarak antara ajaran yang luhur dan perilaku, khususnya dalam muamalah.  Misalnya, Indonesia adalah negeri muslim terbesar, tetapi juga terkorup.  Sangat menyedihkan karena jelas merusak citra keislaman yang menjunjung  tinggi moralitas. Dunia akan melihat bahwa umat Islam Indonesia juga  bagian dari kebobrokan tersebut, sebuah pandangan yang tidak semuanya  benar namun juga tidak salah juga.
Agama diajarkan dimana-mana, bahkan  dari level terendah pendidikan pun sudah diajarkan. Namun pendidikan  agama yang diberikan belum mampu membangun karakter bangsa yang jauh  dari korupsi. Tidak hanya pendidikan formal, agama yang mengajarkan  kemulian akhlak juga diajarkan dalam berbagai ritual agama. Secara jelas  al-Qur’an menegaskan bahwa Shalat akan mencegah pelakunya dari berbagai  kemungkaran. Namun apa yang terjadi? Ibadah berlalu begitu saja tanpa  ada bekas dalam kehidupan moralitas.
Dr. H. Syafii Anthonio, M.Ec memberikan  ilustrasi menarik soal ini dalam hal berbisnis. Menurutnya, mana yang  lebih baik, miskin bersabar atau kaya bersyukur mana yang lebih baik?  yang miskin dan sabar itu hal biasa dan kaya bersyukur juga itu biasa.  Tapi kalau kaya sabar maka itu yang luar biasa. Apa yang dimaksud orang  kaya sabar? yaitu orang  yang kaya sabar dalam kekayaannya. Setelah kaya  ia tidak sombong, bisa menahan diri untuk tidak pamer, istiqomah untuk  meniti income yang halal, dan meneruskan menjadi pengusaha yang amanah.  Ternyata tingkatan ini jauh lebih berat dari orang yang miskin sabar dan  orang kaya yang syukur.
Siapa kira-kira contoh yang harus kita  ambil kalau kita berbicara tentang pengusaha yang jujur? Pengusaha yang  amanah pengusaha yang sukses kemudian pengusaha yang bisa mengembangkan  masyarakat. Pengusaha yang peduli kepada masyarakat, ternyata setelah  dipikir-pikir tidak ada contoh yang lebih hebat  dari Rasulullah SAW.  Bahwa kita dengan rasul benci tapi rindu. Kita dengan rasul terkena  problem rabun dekat. Apa yang dimaksud dengan rabun dekat? Kita dengan  rasul ini begitu dekat, seolah-olah tidak ada jarak lagi apalagi, kita  membaca sholawat kepadanya setiap waktu kita, kita membaca maulud  Berjanzi dan Diba”.    Inilah yang saya sebutkan rasul ini kita  “kerangkeng” dan kita “ikat pakai rantai” di masjid-masjid, tidak boleh  keluar/tidak pernah kita bawa dalam dimensi-dimensi kehidupan kita.  Rasul itu hanya mewarnai hidup kita 50 menit sehari melalui shalat 5  waktu.
Ilustrasi di atas mengambarkan bahwa  dalam kehidupan ini telah terjadi diktomi antara moralitas dan  spiritual. Agama hanya berlaku dalam ibadah vertikal, sementara wilayah  horizontal tak lagi menggunakan agama. Rasulullah saw hanya diteladani  sebatas dalam perayaan haris besar Islam, setelah itu dilupakan dan  bahkan dibuang.
Kekhawatiran selanjutnya adalah adanya  sifat rendah diri menghadapi orang lain. Umat kita lebih bangga dengan  produk dari luar, lebih bangga mengambil fikiran asing ketimbang  memperdalam pemikiran lokal. Ini akan menghancurkan bangsa, karena yang  datang dari luar dianggap lebih tinggi. Menurut Prof. Atho Muzhar,  banyak generasi muda yang bangga belajar segala sesuatu yang berbau  barat, padahal tidak semua yang berbau barat itu adalah baik. Ia  mengakui bahwa Barat telah mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan  serta pemikiran. Namun semua itu ada konsteksnya masing-masing,  sehingga tidak otomatis bisa diterapkan dalam konteks tata nilai  keindonesiaan.
Dalam hal ini, arus globalisasi yang  dikomandoi oleh negara-negara maju, telah menjadi isu yang terus  menggelinding dan menciptakan berbagai pergeseran tata nilai, baik  bersifat positif maupun negatif. Globalisasi ini telah melahirkan  struktur sosial yang baru, menggantikan struktur sosial yang selama ini  telah ada. Dari aspek sosial-budaya misalnya, saat ini telah terjadi  pergeseran hampir di semua sisi kehidupan keluarga. Keluarga adalah  tempat tumbuh dan berkembangnya generasi bangsa.
Dari keluarga inilah lahir generasi  bangsa yang berkualitas, namun kini keluarga mulai kehilangan sentuhan  pendidikannya bagi anak. Hal ini di antaranya disebabkan telah  berubahnya norma-norma kehidupan berkeluarga secara drastis. Orang tua  yang tidak berdaya menjadi orang tua budaya dan orang tua spiritual  terhadap anak-anaknya, melainkan hanya sebatas orang tua biologis. Ini  jelas berdampak serius pada hilangnya fungsi keluarga sebagai tempat  pembinaan generasi muda. Di sisi lain, generasi muda kita lebih memilih  pendidikannya dari luar keluarga. Mereka lebih sering mengambil idola  bukan lagi dari sosok orang tua, melainkan dari dunia luar yang liar.  Pergeseran itu juga terjadi pada hilangnya nilai-nilai paguyuban,  menipisnya budaya malu, pergeseran figur idola publik di kalangan  generasi muda kita, perubahan radikal dalam dunia mode & fashion,  perubahan selera dan menu serta pola konsumsi masyarakat.
Menurut KH. Tolhah Hasan,  globalisasi  telah masuk kedalam grassroot. Masyarakat bawah telah merasakan dampak  dari globalisasi, tentunya dampak itu ada yang negatif dan positif.   Beliau mencontohkan, ketika bertanya alasan bercerai di kampung-kampung,  jawabnya: sudah tidak ada kecocokan.  Menurutnya jawaban ini suatu  proses peniruan dari masyarakat urban. Padahal budaya kampung tidak  mengajarkan seperti itu. Namun karena derasnya arus informasi yang bida  diterima masyarakat di pedesaan, mereka ikut meniru kebiasaan bercerai  masyarakat peerkotaan.
Kesenjangan Paradigmatik 
Hal yang bisa kita deteksi dalam  persoalan sosial kemasyarakatan saat ini adalah adanya perbedaan cara  pandang tentang dakwah dan kebutuhan umat, sehingga antara apa yang  disajikan bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan umat. K.H Tolhah  Hasan menyebutnya sebagai kesenjangan paradigmatik antara elit dan  bawahan.
Persoalan ini sangat luas dampaknya  bagi keberlangsungan pembinaan umat. Ulama dan umara adalah pelayan  umat. Nabi telah menegaskan bahwa para uama adalah penerus dakwah para  nabi. Ulama dalam konteks kekinian bisa diartikan sebagai institusi  pelayanan keumatan, baik di pemerintahan maupun masyarakat umum.
Ada perubahan paradigma di sebagian  pelaku dakwah kita. Ada segelintir orang yang menjadikan dakwah sebagai  lahan usaha dan peningkatan status sosial. Dakwah dimaknai sebagai lahan  ekonomis, dengan menanggalkan dimensi spiritual berupa kewajiban  berdakwah. Sehingga, perilaku dakwah tidak lagi sistematis dan dalam  kerangka program yang jelas, melainkan sporadis dan tidak berbasis  kebutuhan umat.
Masalah yang juga serius dalam  menciptakan kegalauan pada diri umat adalah munculnya “raja-raja” baru  yang haus akan pelayanan, bukan melayani. Ini terjadi akibat tumbuhnya  pandangan bahwa dakwah adalah miliki kelompok mulia, sehingga  kedudukannya harus dimuliakan. Pandangan ini tidaklah salah, karena  memulaikan dai adalah bagian dari ajaran Islam. Namun persoalannya  menjadi rumit tatkala pelaku dakwah tidak lagi mengayomi dan melayani,  malah dilayani. Bukan dia yang turun menjemput dan memberikan  pendampingan kepada umat, tetapi umat yang datang dengan merangkak  memberikan hormat. Padahal Nabi sendiri tidak pernah menjadikannya  sebagai manusia yang mulia dan wajib diagungkan. Beliau adalah sosok  yang bersahaja, teman dari para fakir miskin dan orang-orang tertindas,  serta ayah dari anak-anak yatim.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya  unsur-unsur lain seperti politik. Sebagai penjaga umat, para dai adalah  pengayom bagi seluruh lapisan. Masyarakat dengan beragam aliran dan  paham keagamaannya adalah pihak yang harus dilayani dan diayomi. Akibat  kepentingan politik, dakwah pun diarahkan sebagai basis pengumpulan  kekuatan, tidak lagi memberdayakan, tetapi dikomersilkan. Lihat saja  misalnya, semasa kampanye institusi agama, masjid, mushala, dan  sejenisnya, dijadikan ajang unjuk gigi kekuatan politik, mereke berlomba  mengais suara. Padahal, setelah pesat itu selesai, semuanya terupakan.  Umat yang harusnya diberikan pembinaan berkelanjutan malah  diterlantarkan.
Dalam skala yang lebih sempit,  kesejangan itu kini terjadi antara khatib dan jamaah. Apa yang  disampaikan khatib tidak diinginkan oleh jamaah. Dalam sebuah kesempatan  shalat jum’at, seorang khatib mencaci maki seorang tokoh nasional yang  dianggapnya telah merusak pemikiran dengan liberalismenya. Tak  tanggung-tanggung, umpatan dan cacian itu begitu deras keluar  dari  bibirnya. Sementara, para jamaah tidak paham dan sebenarnya tidak burtuh  dengan umpatan-umpatan tersebut. Yang mereka butuhkan adalah paham  keagamaan yang bisa menjadikan mereka sebagai pribadi yang progresif,  inovatif; mereka ingin mendapatkan pencerahan. Khutbah-khutbah kita  tidak lagi landing bagi umat. Umat perlu pemikiran yang progresif dari  para khatib agar permasalahan mereka bisa diberikan solusi.
Lebih mengerikan lagi adalah hilangnya  peran masjid dalam pembinaan masyarakat. Masjid tidak lagi berfungsi  sebagai tempat pembinaan agama. Bahkan masjid-masjid sekarang ini lebih  banyak kosongnya daripada penuhnya. Para pengelola masjid telah  membangun paradigma yang salah dalam hal ini, di mana kemegahan masjid  menjadi tolak ukur keberagmaan, sementara upaya pemakmurannya melalui  beragam aktifitas dakwah terbengkalai.
Data rumah ibadah umat Islam tahun 2009  berdasarkan kategori rumah ibadah umat Islam yang dihimpun dari  internal Bimas Islam sebagai berikut Jumlah Masjid Agung 1.059(0.16%)  Bangunan, Masjid Raya 40(0.006), Masjid Jamik 107.995(16.79%), Langgar  277.242 (43%), Musholah 255.301(39.68%). Data ini cukup memberikan  gambaran betapa besarnya peran yang hilang dari masjid dalam pembinan  umat. Jika kita berandai-andai separuh dari jumlah masjid yang ada  berfungsi baik sebagai pusat pembinaan umat, rasanya setengah dari  permasalahan bangsa ini telah terselesaikan.
 Tantangan Umat 
Mengutip pendapatnya Prof. Dr. Nasauddin Umar, MA, secara garis besar ada empat bidang yang menjadi PR umat Islam saat ini.
Pertama, kerukunan hidup antar umat beragama.  Munculnya benih-benih radikalisme dan ekstrimisme adalah ancaman bagi  keberlangsungan kerukunan umat beragama. Ketika keragaman tidak dilihat  sebagai keniscayaan, dan ketika perbedaan disikapi dengan hitam putih,  maka hal ini akan memunculkan tindak kekerasan.  Faktor kerukunan  keagamaan juga menjadi bagian dari nilai strategis Indonesia. Sebagai  negara dengan pemeluk muslim terbesar, Indonesia adalah jantung  perdamaian dunia. Dengan segala keragaman pemikiran keagamaan, tentunya  Indonesia akan banyak dilihat kemampuannya dalam mengelola keragaman  dimaksud. Dan keberhasilan Indonesia dalam mengelola keberagamaan adalah  sebuah sumbangsih bagi dunia sekaligus kiblat bagi dunia dalam  mengelola keberagaman keyakinan.
Kedua, pendidikan Islam.  Pendidikan adalah faktor penting dalam membangun bangsa. Tanpa  pendidikan, mustahil sebuah bangsa akan maju. Begitupula dengan umat  Indonesia. Terjangan globalisasi harus diantisipasi oleh umat Islam  dengan membangun pola pendidikan Islam yang kompetitif.
Ketiga, kesehatan.  Masalah kesehatan juga menjadi agenda kedepan. Derasnya arus  perkembangan zaman telah berdampak terhadap ganguan kesehatan di  masyarakat, seperti penyebaran penyakit HIV dan AIDS, adalah sebuah  ancaman serius yang harus diberikan perhatian oleh umat. Data dari KPAN  menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 33 juta hidup dengan HIV, di  mana 2,0 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Adapun usia terjangkita  HIV dan AIDS 45% berusia 15-24 tahun. Dengan segala potensi yang  dimiliki, umat Islam harus membangun kepedulian terhadap masalah  kesehatan.
Tata nilai agama yang mengajarkan arti  penting kesehatan harus dikembangkan secara maksimal melalui berbagai  media yang ada. Agama harus menjadi kekuatan penting dalam membangun  kesehatan masyarakat. Keterlibatan umat Islam dalam kampanye kesehatan  ini akan berpengaruh besar bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Keempat, kesejahteraan umat.  Pranata Islam memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam bidang  perekonomian umat. Misalnya zakat, wakaf, infak, dan shadaqoh. Itu semua  adalah potensi besar yang bisa dimaksimalkan untuk membangun  kesejahteraan umat. Saat ini telah berdiri BAZNAS dan BWI. Kedua lembaga  ini bertugas mengembangkan zakat dan wakaf. Ini adalah sebuah kemajuan  karena akan memberikan kontribusi besar bagi pengentasan kemsikinan.  Tentunya semua itu membutuhkan pengelolaan yang bagus dan manajerial  yang mumpuni.
Pertanyannya adalah, mampukah umat Islam Indonesia menjawab semua harapan dunia ? 
Indonesia memiliki segalanya untuk  menjadi pusat peradaban Islam di dunia. Keempat bidang yang telah  menjadi PR tersebut sangat mungkin diwujudkan. Tentunya upaya  mewujudkannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan upaya  keras serta strategis yang baik agar semua yang ditugaskan bisa  diselesaikan dengan baik.
Kita memiliki potensi yang besar untuk  semua itu. Umat Islam memiliki jaringan yang cukup luas hingga ke  pelosok desa. Sosok ulama atau tokoh agama adalah ujung tombak yang  harus dimaksimalkan perannya. Ulama atau tokoh agama harus mengambil  peran-peran di masyarakat tidak hanya dalam persoalan keagamaan,  melainkan juga peran-peran dalam kehidupan lainnya, seperti  sosial-politik, ekonomi dan budaya.
Para ulama atau tokoh agama adalah  tokoh agama yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Dengan  demikian, maka proporsi ulama di masyarakat tidak hanya memimpin  tugas-tugas keagamaan yang berdimensi vertikal semata (ukhrawi), tapi  juga dimensi horisontal (duniawi). Ulama atau tokoh agama juga identik  dengan lembaga pesantren. Lembaga pesantren adalah agent of social  change. Pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan, baik agama  maupun pendidikan lainnya. Namun pesantren juga bisa melakukan berbagai  aktivitas dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, seperti mengatasi  kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran,  kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat. Dengan kata lain, pesantren  bisa melakukan berbagai kegiatan sebagai pengembangan fungsi  kelembagaan, dalam rangka memenuhi tuntunan masyarakat pendukung dan  tantangan perubahan zaman.
Ormas Islam tak kalah penting peran dan  fungsinya dalam pembangunan. Kelahiran ormas Islam menandai peran besar  umat Islam dalam pembangunan, tidak sebatas perjuangan mengangkat  senjata.Ormas Islam telah berperan besar dalam mengembangkan potensi  umat. Berbagai ormas yang muncul saling melengkapi satu dengan yang  lainnya. Masing-masing memiliki bidang pengabdian terhadap umat.
Semua potensi itu akan menjadi kekuatan  besar jika umat Islam mampu membangun sinergi. Inilah kucninya.  Kekuatan dan potensi yang berserakan perlu kita satukan dalam bingkau  Islam. Di sinilah kerelaan untuk memanggalkan latar belakang politik,  sosial, dan golongan adalah sebuah pengorbanan besar. Semuanya kita  leburkan dalam tujuan Islam: lii’lai kalimatillâh, menegakkan  panji-panji Islam.
Semoga!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar